“Ayo, Delapan.” Raju mengulurkan tangan setelah aku membantunya naik ke pijakan selanjutnya. Aku menangkap tangannya, melihat sekilas ke bawah sebelum ikut naik ke sebelahnya. Lumayan tinggi juga. Tempat saluran air ini hanya berukuran satu meter persegi, tapi tinggal setengah meter persegi dengan pipa-pipa besarnya. Lembab, sedikit pengap dan gelap. Temboknya yang tidak di plester banyak yang berlumut. Galih saja hampir terpeleset beberapa kali dari tadi, peluru penjaga waktu itu masih bersarang di tangannya. Sebenarnya harus segera dikeluarkan, tapi mengingat alat yang tidak memadai dan waktu yang sempit membuat Galih harus terus bertahan sampai kembali ke Akademi.
Raju membantu Galih membuka pintu besi penutup lubang itu. Setelah beberapa kali mendobraknya, pintu itupun akhirnya terbuka. Aku tersenyum begitu menghirup udara segar, ikut naik ke atap bangunan besar itu dan mengedarkan pandangan. Syukurlah, kami benar-benar sudah keluar dari bangunan itu sekarang. Aku menatap Raju, ia juga menghembuskan nafas lega.
“Lantas, selanjutnya kemana?” aku bertanya sedikit berbisik, Raju terlihat masih berpikir juga.
“Kita harus mencari Amel dulu.” Jawabnya sambil terus mengedarkan pandangan. “Tangga turunnya mana?” lanjutnya, membuatku ikut celingukan mencari jalan turun.
“Kita naik dahan pohon itu saja.” Galih mengarahkan telunjuk ke salah satu dahan pohon yang menjulur ke atap. Aku berjalan perlahan melihatnya lebih jelas.
“Benar, kita bisa turun lewat sini.” Aku mulai meraba-raba dahan yang tak terlalu nampak itu, suasana masih sangat gelap, mungkin lewat tengah malam. Raju dan Galih demi mendengar suaraku ikut mendekat. “Tapi hanya bisa satu-satu, tunggu aku sampai di dahan besarnya.” Lanjutku sambil mencoba bergelayutan pada dahan seukuran lengan orang dewasa itu.
“Hap!” aku sudah sampai di pokok dahannya. Aku melambaikan tangan memanggil mereka. Sesaat mereka hanya saling pandang, membuat mataku membulat tak sabaran. Raju balas melambaikan tangan, menyuruhku bersabar. Ternyata Galih harus mengikat kedua kakinya dulu pada batang pohon itu. Aku menepuk dahi, baru ingat kalau tangan Galih tidak bisa dipakai bergelayutan sepertiku tadi, ia harus menggunakan alternatif kedua; bergelantungan dengan posisi badan terbalik. Dengan kedua kaki terikat dan mencantolkannya pada dahan pohon, tinggal menarik badan dengan satu tangan. Raju berjaga-jaga di belakangnya, bersiap meloloskan tali itu jika tersangkut patahan dahan. Aku menunggu mereka sambil mengawasi sekitar.
Begitu Raju menginjakkan kaki di pokok dahan lainnya, aku langsung mengomando turun. Untung kali ini Galih tidak terlalu kesusahan. Ia bisa turun dengan satu tangan karena laju badannya bisa ditahan menggunakan dua kaki. Dan juga baru sampai pertengahan turun, aku menyuruhnya untuk melompat dan menangkapnya.
“Ayo, bergegas!” aku melangkah hati-hati menuju tempat Galih berakting waktu itu, karena memang tempat itu sudah dekat sekali dengan bagian depan gedung. Sirene terdengar meraung-raung makin keras berbunyi. Aku mempercepat langkah, daerah hutan itu nampaknya akan segera disisir, mereka pasti juga tak kalah pintarnya dan menyadari kalau hutan sekelilingnya merupakan tempat yang paling aman bagi para pencuri untuk kabur.
Kami terus sigap menghindari tanggul, melompati kayu tumbang yang melapuk, hati-hati melewati dedaunan kering (karena bisa menimbulkan suara berisik). Mobil yang kami parkir tidak jauh lagi.
Sirene terus meraung, nampaknya para penjaga benar-benar marah kehilangan benda paling berharga mereka. Aku berbelok, merapat ke dinding bangunan itu. Raju dan Galih mengikuti dari belakang. Sial, banyak sekali penjaga yang berpencar memeriksa sekitar gedung. Aku menahan nafas, bisa jadi tinggal menunggu hitungan detik kami akan segera tertangkap.
“Lima, kau punya ide?” aku berbisik tanpa sedikitpun menoleh. Tidak ada jawaban. Berarti jawabannya tidak. Ayolah, Amel kemana saja dia? Belum sempat aku menghela nafas kesal, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan keras dari kejauhan. Astaga! Mereka menemukan mobil kami!
BOOOMM!!
Sekali lagi mobil kami meledak. Aku menggeram sambil menatap nanar jilatan api dan asap yang membumbung tinggi.
“As.” Raju di belakang sampai lupa sebutanku saking kagetnya, ikut menatap pasrah kepulan asap merah dari mobil malangnya.
Belum sempat aku menghela nafas untuk menghilangkan kesal, dari sebelah kanan terlihat seseorang menaiki motor dengan kecepatan penuh, keluar dari pintu utama gedung itu. Sekilas aku mengenali wajahnya yang memakai penutup mulut. Amel? Tidak salah lagi, orang itu mulai mengeluarkan pucuk senapannya, menembaki penjaga yang berusaha menghadangnya dengan satu tangan. Aku sejenak melupakan ledakan itu, cepat mencari ide.
“Lima, Tujuh, ikuti aku!” aku berseru begitu melihat tiga penjaga lainnya bersiap mengambil motor yang sama, segera berlari ke depan. Raju dan Galih belum sempat menjawab, cepat menyusulku. Aku terus berlari, tidak berpikir lagi terlihat penjaga. Tiga penjaga itu mulai melajukan motornya. Aku terus berlari sambil berhitung dengan keadaan. Kalau aku berlari lebih dulu, sedangkan motor itu lebih cepat dariku, maka kami akan bertemu persis di dekat ledakan mobil itu. Sekilas aku melihat ke belakang, memberi kode agar mereka mengambil bagian masing-masing. Tiga motor itu terus melaju, aku memicingkan mata, berbelok tajam, muncul dari samping dan melompat tinggi. Mengirimkan tendangan sekuat mungkin.
BBRRAAAKK!!!
Tepat! Tiga penjaga yang tidak menduga-duga kedatangan kami itu terpelanting dari motornya, membuat kendaraan mereka terseret hampir beberapa meter. Aku tak acuh, cepat merebut motor mereka. Raju melakukan hal yang sama, cepat menyuruh Galih untuk naik di belakangnya. Ia tidak bisa menyetir sendiri.
“Kerja bagus, teman!”
Aku cepat melesat bersama Raju dan Galih, meninggalkan tiga penjaga yang masih mengumpat-umpat di belakang, menyusul Amel di depan.
“Lupakan mobilnya, kita harus segera meninggalkan tempat ini.”