“Sebenarnya aku tidak ingin membicarakannya pada kalian. Tapi, setelah aku pikir-pikir akan lebih bagus jika kalian juga mengetahuinya.” Raju kembali berbisik, membuat kami semakin merapat.
“Ini tentang tetua.”
“Eh?” Amel menyela kalimatnya, “kau yakin mau membicarakannya di sini?” Ia menatap kami bergantian. Galih mengangguk.
“Benar, sebaiknya kita bicarakan di kamar saja.”
Raju menatapku sebentar, lantas melambaikan tangan. “Ya sudah kalau begitu, kita tunda nanti saja.”
Aku yang ingin menyahut ucapannya terhenti ketika kode untuk berkumpul terdengar. Sebenarnya tatapan Raju tadi seakan arah pembicaraan sebenarnya tertuju padaku. Tapi aku terpaksa menutup mulut dan melangkah bersama puluhan Hiu Besar Baru lainnya, urung bertanya.
“Selamat malam anak-anak.” Suara berat dan berwibawa tetua menggema di dinding-dinding aula. Kami memasang telinga baik-baik, mendengarkan dengan seksama. Kalau diperhatikan, tetua tetap tampil seperti biasa; rambut disisir rapi ke belakang, raut wajah tegas dan berwibawa, ditambah kemeja merah kotak-kotak dengan jas hitam yang semakin menambah aura mistisnya. Ya, menurutku pandangan tetua selalu terasa mistis. Aku menggeser pandangan sejenak, garis luka di sepanjang mata dan pipinya masih tampak jelas.
“Saya telah mendapat laporan tugas pertama kalian.” Tetua sengaja menghentikan kalimatnya, menyapu kami dengan pandangan sejenak. Aku yakin, setiap dari kami pasti mengartikan pandangan itu dengan perasaan berbeda-beda, tergantung hasil yang mereka dapat. Aku melirik Raju, Amel dan Galih sekilas. Pasti mereka sedang menunggu-nunggu apa yang akan tetua katakan selanjutnya, sama denganku.
“Good.. setelah melihat hasil dari kerja kalian, aku bisa menilai ini bagus, bahkan sangat bagus sekali.” Tetua bertepuk tangan perlahan, tiga kali. Kami menyambutnya dengan gemuruh tepuk tangan, beberapa tersenyum lega. Aku nyengir lebar ke arah Galih. Terang saja, lihatlah, kami sampai berdarah sana-sini demi mendapatkan bongkahan Lanthanum sial itu.
“Tapi nilai bagus sekali hanya satu anak-anak.” Tetua mendehem, suasana aula hening dengan wajah-wajah penasaran. Hanya satu? Maksudnya?
“Kelompok yang mencari Lanthanum, itu yang saya maksud.” Kalimat terakhir tetua disambut dengan gemuruh penasaran anak-anak Hiu Besar Baru, saling pandang satu sama lain. Hanya kami berempat yang tidak, malah tersenyum lebar sebelum saling TOS! dan tertawa lebar. Amel menghembuskan nafas lega. Raju menepuk pundakku, aku tersenyum, beralih ke arah Galih, memeluknya erat.
“Awww!” Galih mengaduh pelan, meringis sambil memegangi luka di pundaknya yang belum sembuh. Aku terkejut, cepat melepas pelukan sambil cengengesan minta maaf.
Tetua mengangkat tangan. Kami serempak terdiam. Tetua menggerakkan tangannya lagi, memberi isyarat. Pengawal dengan baju serba hitam di sebelah kanan melangkah maju. Mengaktifkan hologram.
“Kelompok 1 Hiu Besar Baru. Dengan ketua Inisial Lima, Hacker Inisial Enam, anggota Inisial Tujuh dan Delapan.”
Penjaga itu mematikan hologramnya, merunduk sebentar ke arah tetua, lantas kembali melangkah ke posisi semula. Kami berempat saling pandang. Apa? Kami dipanggil? Raju segera berdiri, Amel dan Galih menyusul kemudian. Aku tidak sempat bertanya lagi, ikut berdiri tegap. Sempurna, seluruh mata menuju ke arah kami berempat sekarang. Kami melangkah maju, menyibak beberapa barisan.
“Good. Kerja bagus, anak-anak.” Tetua itu menyambut dengan kedua tangan terbuka begitu kami berbaris di hadapannya. Mata tajamnya menatap kami satu persatu. Aku menelan ludah. Walaupun terkesan tidak menyeramkan, tetap saja rasanya bulu kudukku mau berdiri.
“Kalian tahu? Tugas pencarian Lanthanum itu sebenarnya akan diberikan pada Hiu Besar. Hanya saja, ketika pembagian tugas, tim sudah penuh sedangkan yang akan dikirim menuju Lanthanum belum ada. Terpaksa, tugas itu dibebankan pada Hiu Besar Baru, dan kebetulan kalian kelompok pertama. Sebenarnya banyak dari peserta rapat yang tidak terima dengan keputusan itu. Risikonya besar. Tapi, instingku berkata lain.” Tetua itu tersenyum, perlahan menyenderkan punggung pada senderan kursinya.
“Good, puji Tuhan. Instingku tak pernah salah. Kalian menyelesaikan misi ini dengan sangat baik.” Tetua bertepuk tangan tiga kali, seorang ajudan lagi dari arah yang lain menghadap cepat, menunggu perintah selanjutnya.
“Naikkan pangkat mereka.”
Kami saling tatap. Apa? Naikkan pangkat? Tanpa diperintah dua kali ajudan itu sudah mengangguk hormat, memanggil seorang temannya, berjalan menghampiri kami.
“Buka baju kalian.”
“Eh?”
Kami saling tatap lagi, ragu-ragu menyentuh kancing baju. Ajudan itu menatap galak, menyuruh kami bergegas. Kami menyerah, bertelanjang dada dihadapkan puluhan pasang mata Hiu Besar Baru yang lain. Seorang ajudan lagi datang dengan sebuah alat di tangannya. Aku menelan ludah, astaga, bukankah itu alat yang dulu dipakai Lee untuk mengecap pundakku?
Dua ajudan itu memulai dari Galih, dia yang paling ujung berdiri. Ajudan yang pertama mengambil alat itu, menyuruh Galih untuk diam, lantas dengan sekali gerakan tanda baru sudah menghias sisi pundak Galih lainnya. Aku meringis melihat wajahnya yang menahan sakit dari cap besi panas itu. Ajudan lainnya mengambil tangan kanan Galih, mengganti hologramnya.
Dua ajudan itu terus berganti menuju Raju, Amel dan terakhir aku. Besi panas kecil itu untuk yang kedua kalinya bertengger di pundakku. Aneh, tidak sepanas yang pertama dulu. Ajudan kedua cekatan mengganti hologram di tangan, walaupun sejatinya tidak terlihat berganti, sama-sama transparan.
Selesai melaksanakan tugas dua ajudan itu kembali. Kami bergegas memasang baju, tidak menghiraukan luka baru di pundak. Tetua sedikit tersenyum sebelum kembali mengangkat tangan.