Aku membuka pintu, mengedarkan pandangan sejenak ke seluruh sudut ruangan. Menghela nafas, mulai merapikan kamar yang selama ini sudah menemaniku tiga setengah tahun terakhir. Sebenarnya, kalau bukan masalah kemarin, aku sangat beruntung bisa bertemu semuanya. Tapi, ah, sudahlah. Aku mengambil sapu yang diletakkan begitu saja di sisi lemari, beralih membersihkan lantai yang mulai terasa kotor. Kamar laki-laki, batinku. Mulai atas lemari sampai bawah kolong tempat tidur, semua berantakan. Kalau sedang kumat bersihnya, semua barang hilang. Aku tersenyum sendiri sambil sesekali memunguti beberapa barang kecil yang masih terpakai.
“Aku bantu.” Seseorang datang tiba-tiba, ikut melipat selimut di atas kasur. “Kau tidak ikut makan siang, As?” lanjutnya. Aku menggeleng, masih sibuk dengan sapu di tangan.
“Kau sendiri, Mel, tidak ikut makan?” aku tanpa menoleh sudah tahu siapa pemilik suara itu. Tidak ada jawaban. Aku tahu kalau dia menggeleng pula. Jam makan baru saja dimulai.
“Ehm, omong-omong, Mel. Waktu itu kau aneh sekali. Dari awal, sikapmu seperti sangat tidak setuju dan menolak mentah-mentah ajakan Raju. Tapi, ketika Raju kira kau tak akan ikut, kau malah menerimanya. Sebenarnya, selama itu kau sedang memikirkan apa?” aku menoleh sekilas, memperhatikan lipatannya yang sudah selesai. Amel tidak menjawab, hanya terdiam, beralih ke barisan lemari yang berhadapan dengan empat kasur di barat ruangan. Aku menghela nafas, menatapnya sebentar, kembali melanjutkan pekerjaan.
“Kau tahu, As, aku ini tipe orang yang suka menyendiri. Kau lihat saja, temanku, laptop, benda mati. Sejak kecil aku sudah terbiasa menyelesaikan segala hal sendiri. Bahkan, sampai memutuskan suatu perkara, mencari ide, atau menyelesaikan masalah, aku akan menyendiri sampai segalanya tuntas.”
Aku mengambil tong sampah di belakang pintu, meliriknya yang ternyata juga sudah melihat ke arahku. Kami terdiam sejenak, sebelum akhirnya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
“Sebenarnya itu saja jawabannya, aku sedang memikirkannya. Bukan aku tidak mau, tapi aku butuh waktu untuk berpikir. Bagaimana aku bisa konsentrasi menimbang perkara berat seperti itu kalau aku harus menanggapi tanya jawab kalian?” Amel menghela nafas, selesai dengan barang-barang di atas lemarinya. Aku meletakkan sapu di samping tong sampah, menepuk-nepuk kedua tangan.
Lima menit kemudian tidak ada yang dibicarakan. Hanya saling diam sambil menyempurnakan bagian-bagian yang perlu dirapikan. Siang ini, kami akan mulai musyawarah penyusunan rencana. Kalau tidak salah, tadi Raju bilang dia akan makan cepat, begitu pula dengan Galih.
Cklek.
Aku dan Amel serempak menoleh ke arah pintu. Raju mengucapkan salam, tersenyum lantas menutup pintu.
“Galih mana?” Amel beranjak membentangkan karpet. Aku ikut mendekat.
“Sebentar lagi.” Raju melepas sewater hitamnya, bersila di atas karpet kemudian. “Kamarnya rapi.” Lanjutnya sambil melihat sekeliling. Aku tersenyum saja.
“Amel yang membersihkan.” Senyumku semakin melebar melihat Amel mengangkat alis.
Cklek.
Galih masuk dengan tergopoh, cepat menutup pintu lagi.
“Aku terlambat?”
“Tidak, hanya telat.” Raju menyungging sebelah bibir, meminta kami untuk membuat lingkaran.
“Kita mulai musyawarahnya.” Raju menyiapkan sebuah pena dan kertas, memandangi kami senjenak. “Kalian siap?”
Kami mengangguk serempak.
“Oke, kita mulai dengan merangkum masalah. Tenang, aku sudah memikirkannya sejak kemarin.” Raju cepat menggoreskan pena. “Pertama, sistem keamanan. Itu hal pasti. Kedua, penjaga. Itu juga pasti. Ketiga, anak-anak Akademi. Ini belum pasti menimbulkan masalah, tapi bisa jadi. Berarti, kita harus membagi tugas untuk tiga masalah ini.” Raju kembali mengedarkan pandangan. Kami bertiga masih terdiam, menunggu apa yang akan ia sampaikan selanjutnya.
“Pertama, Amel. Kau tahu bagianmu?”
Amel mengangguk. Ia sudah paham posisi tetapnya.
“Tapi kelihatannya tidak segampang itu, Mel. Keamanan Akademi pasti tinggi. Iya kan?” Aku nyeletuk di samping Raju. Galih mengangguk-angguk di sebelahku.
“Aku usahakan, As. Setidaknya aku bisa mematikan sistem keamanan mereka selama lima menit. Kalau berhasil, itu sudah prestasi bagiku.”
Raju menuliskan sesuatu lagi. Meletakkan pena, lantas mengambil botol kaca kecil dari saku celananya.
“Kedua, Galih. Tugasmu gampang. Kamu tinggal masuk ke ruang dapur, campurkan cairan ini ke dalam jatah makan malam anak-anak.”
“Itu Propofol?” Galih mengambil botol itu dari tangan Raju.
“Benar, kau tahu?”
“Tahu lah.” Galih meletakkan botol berisi cairan bening di tangannya. “Ini obat bius dosis tinggi. Wah, bisa-bisa nanti malam satu Akademi tertidur pulas.” Galih cengengesan sendiri, mengambil lagi botol itu dan memasukkannya ke dalam saku baju. “Kau dapat dari mana, Ra?” lanjutnya.
“Tidak perlu tahu.” Raju kembali mengangkat penanya. “Lanjut. Ketiga, Asgar. Ini bagian paling inti. Kamu yang masuk ke ruang bawah tanah.”
“Eh, aku?” aku menempelkan jari telunjuk ke dada, menatap heran.
“Iya, Asgar. Menurutku, kamu yang paling cocok mengambil bagian ini.”
“Kenapa tidak kamu saja?” aku mengembalikan perkataannya, mengerutkan alis.
“Tidak, As.” Raju tersenyum simpul. “Aku tidak terlalu piawai dalam pencarian seperti itu. Belajar dari kemarin, kurasa kau lebih hebat dariku.” Ujar Raju merendah, membuat Galih tersenyum jahil, siap menambahi. Tapi, aku tidak merasa senang sedikit pun, malah sekarang kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan. Bagaimana cara mencari ruangnya?
“Tenang, As. Kau nanti tidak sendirian. Aku sudah memberi tahu Fathur agar menemanimu.”