Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #15

Ruang Pemanas

Senjataku masih teracung ke arah Tetua.

“Kenapa, anakku? Kenapa tidak kau tarik pelatuknya?” tanya Tetua itu sembari menyeringai. Aku merasakan kedua kakiku gemetar, gemetar karena takut dengan kilatan bola matanya, gemetar karena serba salah dengan senjata MP5 di tanganku, juga gemetar karena menahan marah, melihat tiga temanku babak belur. Aku menelan ludah lagi, bukan, lebih tepatnya tidak ada ludah yang kutelan. Tenggorokanku sudah kering. Hanya keringat sebesar-besar biji jagung yang kini membasahi leher dan pelipis.

Good.” Tetua itu kembali bersuara dengan bahasa khasnya, melangkah perlahan ke arahku. Aku tak dapat berkata-kata, hanya mundur satu langkah. Sial, moncong senjataku bergerak sendiri mengikuti gerakannya. Tapi jelas itu bukan mantra milik Tetua, hatiku yang memerintahkannya tanpa izin.

“Aku bisa menebak apa yang kalian pikirkan sekarang. Pastinya sedang bertanya-tanya kenapa aku bisa di sini bukan?” Tetua itu menghentikan langkahnya, bola matanya berkilat menyeramkan. “Dengan senang hati, anak muda. Akan kuberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan senang hati, karena aku tidak mau setelah ini kalian berubah menjadi arwah penasaran.”

Tetua itu mengangkat daguku dengan ujung jarinya. Aku susah payah mengatur detak jantungku yang tak karuan.

“Kalian.” Tetua itu melayangkan jari telunjuknya ke arah kami semua. “Telalu bodoh! Kalian kira apa yang ada di tangan kalian semua?” tegas Tetua itu dengan suara berat berwibawanya. Aku patah-patah saling tatap dengan Fathur. Ya Tuhan, kami lupa satu hal. Tetua bisa mendengar perbincangan kami dari Hologram!

“Sebenarnya sejak awal, aku sudah tahu rencana kalian. Sengaja, aku pergi malam itu. Ingin tahu seberapa besar nyali kalian. Ternyata, nyali kalian memang besar, tapi otak kalian kecil.” Tetua itu berbalik, mengedarkan telunjuknya.

“Dan, sayang sekali, anak-anakku. Kalian telah mengajarkan padaku bagaimana caranya mengkhianati orang yang baru saja menghormatimu. Sayang sekali, tapi bagaimanapun, aku bukanlah tipe orang yang kejam. Kalian tetap kuberi pilihan.”

Aku dan Fathur saling tatap. Apa? Pilihan? Sekilas mataku kembali melirik punggung Tetua yang membelakangi kami.

“Pilihan kalian hanya dua.” Tetua berbalik badan, menyeringai ke arah kami berdua.

“Mati.. atau... MATI!”

Senjataku hampir terjatuh demi mendengar kata terakhirnya. Lirih, tapi terdengar seperti suara iblis. Tenggorokanku sempurna tercekat, bahkan hampir kehilangan nafas.

ELECTRIZE!!!” 

Tetua itu berteriak. Aku dan Fathur serempak mengejang, hologram di tangan kami menyengat kuat seperti seekor lipan. Fathur terjatuh, meninggalkan suara parau dari tenggorokannya yang seperti tercekik. Aku masih sempat menguasai diri. Tapi sengatan itu semakin kuat, bahkan seperti memegang saluran listrik bertegangan tinggi. Pandanganku menggelap, sampai akhirnya terjatuh bersama senjata yang masih melekat di tangan.

***

“Asgar.” Suara lemah itu membangunkanku. Aku menoleh, Amel tersenyum dengan bekas aliran darah yang mengering di pelipisnya. Aku tidak menjawab, hanya membalas tatapannya.

“Kita di mana?” aku berusaha menggerakkan badan. Nihil, tubuhku bagai tanpa tulang, lemah terikat pada tiang yang sama dengan keempat temanku. Aku menoleh sekeliling, ruangan ini tidak lebih baik dari gudang saat misi Lanthanum itu. Hanya saja tempat ini lebih bersih, itu saja.

“Akupun tidak tahu, As. Begitu terbangun aku langsung coba membangunkan Raju dan Fathur. Tapi mereka sama sekali tidak bergerak. Untunglah, setelah agak bersusah-payah kaupun akhirnya terbangun. Kukira kalian semua sudah mati.”

Aku tidak tertawa, andai saja Amel mengatakannya di lain waktu tentu aku akan menghargai leluconnya. Aku yakin, Tetua tidak main-main, ia pasti akan membunuh kami. Perbuatan kami sudah tidak dapat diampuni. Masuk ke dalam ruang rahasia Tetua, itu sama saja menyerahkan diri pada Malaikat Maut.

“Jangan berkata seperti itu, Mel. Aku tahu Tetua bukan tipe orang yang begitu. Tapi, lebih tepatnya Tetua lebih suka mangsanya mati secara perlahan.” Aku meringis, yang langsung ditanggapi dengan ketua mata Amel yang melotot.

“Jangan bercanda, As.”

“Tadi kau yang mengajak bercanda.”

“Lebih baik sekarang kita pikirkan bagaimana cara keluar dari sini.” Aku menoleh, Galih yang berada di sebelahku menggerakkan kakinya.

“Galih!” desis Amel.

Galih perlahan membuka matanya. Ia sedikit kebingungan melihat aku dan Amel yang terikat, dan lebih kebingungan lagi setelah tahu kalau ia juga terikat. Aku tersenyum, menyuruhnya untuk tenang.

Lihat selengkapnya