“Artinya, kita semua akan dipanaskan di sini?” Galih menjawab cemas.
“Lebih tepatnya seperti oven.” Aku menjawab tak kalah cemas, suara berdesis di empat pojok ruangan semakin keras. Galih, Amel dan Raju berseru tertahan. Tinggal menunggu waktu, satu persatu badan kami akan meleleh dan berjatuhan di lantai ruangan!
“Lantas apa yang harus kita lakukan, As?!” Galih berseru ketakutan, Amel ikut menatapku putus asa.
“Jangan panik, Lih. Setahuku kalau kau panik, tubuhmu akan lebih mudah mencair karena panas dari dalam mempercepat kerja ruang ovennya.” Raju bersuara serak, raut wajahnya terlihat begitu serius.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?!” Galih malah mengulangi pertanyaannya. Walau dalam keadaan tergantung, dadanya tampak sekali naik turun menahan emosi. “Kita diam saja? Pasrah mencair seperti lilin? Begitu?! Aku tidak mau mati konyol, Ra!”
“Tenang, Lih!” aku angkat bicara, menatapnya tajam. “Yang dibilang Raju benar, kita harus tenang dan mengatur nafas sesantai mungkin. Kalau tidak waktu kita akan semakin singkat dan tidak ada jalan keluar yang bisa dipikirkan. Kau tahu sendiri bukan, mencari jalan keluar saat ini begitu sulit dan memerlukan waktu lama?” aku sedikit merendahkan suara, tidak mau memancing emosi Galih lagi.
Galih menghela nafas, menatapku sebentar. Aku tahu maksud tatapannya menyetujuiku sekaligus masih bertanya ‘lalu apa yang harus kita lakukan?’.
“Kita punya waktu setengah jam.” Fathur menoleh ke arahku.
“Sampai?”
“Lebih tepatnya sampai ruangan ini benar-benar siap mencairkan tubuh kita.”
Amel menghela nafas, berusaha tenang, tapi lebih ke arah pasrah.
“Baiklah, mari kita pikirkan masing-masing, tetap jaga ketenangan kalian.” Raju memberi instruksi. Kami mengangguk pelan, terdiam kemudian dalam posisi masing-masing.
Sepuluh menit. Galih kembali menatapku. Keringatnya mulai bercucuran.
“Ra..”
“Tenang Galih, aku sedang berpikir.” Aku hanya meliriknya dengan ujung mata dan kembali berkonsentrasi. Jelas pikiranku buyar, ternyata sangat sulit berpikir dalam kondisi seperti ini. Lihatlah, keringatku juga sudah bercucuran sejak tadi. Perih terkena bekas luka cambukan. Udara semakin pengap, mungkin suhu ruangan sudah sepertiga perjalanan menuju titik leleh.
Galih kembali pada posisinya, menghela nafas dan kembali memejamkan mata. Aku melirik Amel, ia hanya menatap kosong ke depan, membiarkan tubuhnya basah dengan keringat.
Lima belas menit. Udara semakin memanas.
“Ashh...!” Raju memanggilku, nafasnya terengah. “Kau sudah mendapatkan jalan keluar?”
Aku menggeleng, mengatur nafas setenang mungkin. Jujur, sebenarnya dadaku juga sudah mulai terasa sesak. Keringat jangan ditanya lagi, bahkan darah bekas luka cambukan bersih dibuatnya.
“Nihil, Ra. Kedua tangan kita terikat. Mau bergerak pun, tidak bisa. Posisi kita tidak menyentuh tanah. Andai saja terikat seperti di gudang Lanthanum, akh.... kita masih punya beberapa cara.” Aku meringis kesakitan ketika luka cambukan di bagian rusuk teraliri keringat. Perih sekali, bagian itu yang paling sering terkena cambukan. Aku mendengus, menatap lagi pintu itu. Sial memang dia, hendak membunuh kami secara perlahan.
“Ada cara terakhir.” Kami menatap ke satu arah. Amel yang bicara barusan. Ia membalas tatapan kami, menunggu sejenak.
“Harus melepaskan ikatan satu orang.”
“Caranya?”
“Dengan mengayunkan badan.” Amel menatapku serius, seperti harus aku yang mengerjakannya. “Misal, Asgar. Ia mengayunkan badan, sampai sekiranya kakimu bisa mencapai tali di tanganku. Lalu, tendang sekuat tenaga. Kau lihat lingkaran besi yang dijadikan penahan badan kita?”
Kami serempak mendongak. Memang benar, tali yang mengikat kami terhubung pada lingkaran besi di atap ruangan. Aku memperhatikan sebentar.
“Kelihatannya tetap tidak bisa, Mel.”
“Kenapa?”
“Kau lihat sendiri. Besi itu di desain sangat kuat, mungkin butuh puluhan kali tendangan untuk bisa melepaskannya.” Aku menghela nafas pasrah. “Dan itu mustahil untuk kondisi seburuk kita.”
Secercah raut harapan langsung hilang dari wajah mereka.
Dua puluh menit. Ruangan sudah begitu panas.
“As...”
“Apa?”
Galih menghirup nafas dalam-dalam, air matanya hampir mengalir. “Maafkan aku, As. Aku banyak salah.”
Aku tersenyum, berusaha terus bernafas. “Jangan berkata seperti itu, Lih. Kita pasti bisa keluar. Niat kita tulus, baik... Tidak mungkin Alloh membiarkan kita mati di sini.”
“Tapi aku hanya meminta maaf..”
“Bagus, Lih. Kalau aku ada salah, maafkan juga ya..”