Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #17

Hutan Akademi

Malam itu bulan sedang purnama.

Kami berlarian menuju belakang bangunan akademi. Dan seperti yang pernah kujelaskan sebelumnya, tidak ada pagar atau penghalang apapun di luar bangunan. Tetua sengaja membiarkan akademinya terlihat seperti seonggok rumah Belanda kuno yang sudah tak berpenghuni. Langkah kami terus berlomba dalam sunyi. Selain hafal jalan, kami sangat terlatih dalam hal pergerakan secara diam-diam. Setelah melewati beberapa belokan dan lorong gelap, udara luar akhirnya menyapa. Kami lolos.

“Ra, kenapa tidak ada yang mengejar kita, ya?” aku bertanya sambil berusaha mengatur nafas. Raju membersihkan lengan bajunya yang terkena sarang laba-laba. Beberapa lorong yang kami lewati tadi memang jarang sekali di lewati. Hanya dipakai ketika darurat saja.

“Kau lupa dengan hologrammu sendiri, As.”

Aku mengernyitkan dahi. Bukan itu yang kumaksud. Sejenak kulirik Amel yang juga sedikit terengah di sebelahku. Bertanya lewat tatapan.

“Benar sekali.” Amel begitu memahami tatapanku langsung menjawab, sorot matanya cemas. “Bukankah banyak sekali cctv yang kita lewati? Aku juga belum mematikan salurannya.”

Raju menepuk dahi, mengedarkan pandangan sebentar. Posisi kami sekarang tepat di luar bangunan akademi. Gelap. Hanya suara jangkrik terdengar sesekali dari hutan sekitar. Galih dan Fathur berdiri paling belakang, masih sangat dekat dengan tembok akademi. Aku menghela nafas cemas. Sedikitpun tidak terpikirkan tentang cctv. Mungkin terbawa cemas, atau lebih tepatnya ingin segera meninggalkan ruang mengerikan itu.

Fathur yang akhirnya juga ikut menyadari melangkah maju, mendekati Raju.

“Semuanya sudah terjadi. Entah apa yang direncanakan tetua setelah ini, lebih baik kita lanjutkan perjalanan. Dan, sebenarnya tidak ada kemungkinan lain. Tetua pasti sudah tahu semua pergerakan kita. Dalam arti, semua hologram itu tidak ada gunanya. Gagal total. Tapi kita tetap beruntung. Setidaknya tubuh kita tidak terikat lagi dengan hologram Itu.”

Fathur menatapku sejenak. Mengingatkanku dengan tragedi hologram yang menyengat tangan kami di ruang tetua waktu itu.

“Sekarang tidak perlu mengulur waktu lagi.” Fathur menatap kami bergantian. “Entah apa yang menunggu kita di luar, semuanya mode siaga penuh. Kami semua, para pemimpin Hiu tahu betul bagaimana watak tetua. Pria itu sangat sadis. Dan satu yang perlu kita waspadai_” Fathur tidak melanjutkan kata-katanya. Raju sudah lebih dulu mengangkat jari telunjuk.

“Sebaiknya kita tidak usah membahas perkara tetua. Jangan sampai kau termakan kata-katamu sendiri, Fathur. Telinga tetua ada di mana-mana.”

Raju mendesis di ujung kalimatnya. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Sehebat itukah tetua? Jangan-jangan kami tidak sedang berhadapan dengan seorang manusia. Melainkan hantu berwajah tampan.

“Baiklah.” Fathur yang tidak jadi melanjutkan kata-katanya beringsut kembali. Sekilas kulihat raut wajahnya seperti menyimpan sesuatu. Aku bergerak mendekatinya. Tapi Raju sudah lebih dulu memberi isyarat. Kami harus menembus hutan yang mengepung belakang akademi.

“Semuanya bersiap. Jangan ada yang terpisah. Pertahankan jarak maksimal radius satu meter. Bila ada yang merasakan keganjalan, pegang tangan teman terdekatnya. Tetap waspada dan jangan sampai lengah.” Raju memulai aba-aba. Nafas-nafas cemas menyusul kemudian. Dalam gelap aku masih bisa merasakan tatapan Raju terarah kepadaku.

“Asgar, kau berdiri di belakangku. Disusul Amel, Galih, terakhir Fathur. Bagaimana Fathur, kau siap?”

Yang ditanya mengangguk mantap. Raju mengangguk kecil, mengangkat empat jari dan mengarahkannya ke depan. Kami segera beriringan mengikuti langkahnya. Membelah lautan hutan gelap.

***

“Kau membawa senter, Ra?” aku berbisik. Raju tanpa menoleh menggeleng. Aku menelan ludah. Perasaanku lancar sekali langkahnya. Batinku dalam hati. Beberapa langkah kemudian dia menghentikan langkah. Mendekatkan mulutnya ke telingaku.

“Arah mata angin. Kita menuju timur. Jika kau berjalan lurus, kita menuju arah kota.”

Aku mengangguk walaupun Raju sudah kembali fokus dengan langkahnya. Aku menoleh sebentar, memperhatikan tiga temanku yang berjalan beriringan di belakang. Kami sengaja berbaris untuk menghindari risiko salah langkah. Karena jalan yang sebelumnya sudah di lewati jelas lebih aman dari pada mencari jalan sendiri.

Kami terus melangkah dengan berhati-hati. Walaupun gelap, cahaya bulan purnama sedikit membantu penglihatan. Setidaknya kami bisa membedakan mana bayangan mana batang kayu. Mana rumput ilalang mana dataran tinggi. Kalau kuperkirakan, mungkin dalam hutan ini sampai satu hektar lebih. Aku terus mengikuti langkah Raju, semakin dalam. Pucuk-pucuk daun ilalang perih menusuk kulit betis. Semakin dalam, cahaya bulan tidak lagi membantu. Tertutupi pepohonan lebat. Suasana benar-benar gelap, bahkan telapak tangan saja hampir tak terlihat. Tapi Raju tetap melangkah pasti. Sesekali hampir terjatuh menginjak lobang atau tersangkut tunggul kayu. Aku berkali-kali sigap menangkap tangannya.

“Hati-hati Ra..” bisikku. Raju mengangguk. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda tetua mengejar. Bahkan sekedar suara sirene dari Akademi pun tidak terdengar. Benar-benar aman. Aku menghela nafas lega, walau lebih banyak cemas karena hutan yang kami lalui semakin lama semakin lebat. Kali ini beberapa kali Raju mulai benar-benar terjatuh. Aku susah payah membantunya berdiri. Bertanya apakah ia baik-baik saja. Raju mengangguk. Kembali berjalan.

“As..” Raju berhenti. Aku beringsut mendekatinya.

“Ada apa?”

Raju diam saja. Entah apa yang ia lakukan, aku benar-benar tidak bisa melihat wajahnya.

“Beritahu teman-teman untuk mendekat.”

Lihat selengkapnya