Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #18

Ular dan Senter Besar

“ULAAARR!!”

Kami serempak mundur beberapa langkah, kaget bukan kepalang. Aku hampir saja terjatuh. Persis sepelemparan batu dari tempat kami berpijak, seekor ular raksasa bersiap melancarkan serangan pertamanya. Kami terkesiap untuk yang kedua kalinya sebelum akhirnya melompat ke sembarang arah.

“Lari!”

Raju berteriak setelah ular itu hanya berhasil mematuk udara. Aku sempat melihat kedua mata hewan itu memerah. Sisiknya yang tumbuh menyeruak lebih mirip kulit pohon tua. Fathur cepat menghampiriku, membantu menaikkan Amel ke atas punggung. Aku mengaduh, cepat mengambil langkah menyusul Raju dan Galih yang lebih dulu berlari di depan. Berlomba dengan Fathur.

“Awas!!”

Shassh!

Kami kembali berlompatan memencar. Fathur yang berlari paling belakang masih sempat berteriak saat hewan itu bersiap kembali menyerang. Kami kembali pontang-panting menyelamatkan diri. Terjatuh, tersandung tunggul kayu, terjerat rumput-rumput liar. Senter di tangan Galih hampir tak berfungsi sama sekali. Hanya menyorot ke sana kemari tidak jelas. Raju berkali-kali berbalik, memastikan kami baik-baik saja. Aku yang paling repot. Susah payah menjaga keseimbangan. Berkali-kali terjatuh, untung saja ular itu tidak begitu cepat mengejar. Tubuh besarnya membuat hewan mengerikan itu susah bergerak.

Shaashh!!

 Lagi-lagi Fathur berhasil menyelamatkan kami dengan teriakannya. Ular itu hanya mematuk udara. Nampaknya hewan itu mulai kesal. Ekor panjangnya menghantam satu dua pepohonan. Merusaknya, membuat tanah bergetar.

“Lebih cepat, Lih, As!” Raju berteriak dari depan. Matanya nanar. Pakaiannya kotor sana sini. Sama halnya dengan kami. Bahkan lututku sudah mulai mengalirkan darah. Berkali-kali terjatuh dan terseret di tanah.

Sebenarnya kondisi kami masih belum pulih. Luka-luka yang di berikan tukang pukul saat itu masih basah. Perih sekali terkena keringat. Tapi, demi melihat ular dengan mata merah mengerikan seperti itu, membuat kami sejenak melupakan segala rasa perih. Terus berlarian menyelamatkan diri.

“Semuanya sembunyi di balik pohon!”

Ketiga temanku cepat melompat, bersembunyi di balik pohon terdekat. Hanya aku yang terlambat, tidak bisa melompat seperti mereka.

Shaashhh!!

Kali ini aku benar-benar terjatuh. Kepala ular itu baru saja melintas tepat di sebelah tubuhku dan Amel. Keringat sebesar besar jagung membanjiri pelipis. Aku tersengal, meletakkan Amel di balik sebuah pohon.

“Asgar!”

Raju berteriak tertahan, mengira aku dan Amel terkena serangan. Mencoba keluar dari balik pohon. Fathur yang tahu ular itu sudah menoleh ke arah mereka cepat menangkapnya.

Shaasshh!!!

Kali ini Raju dan Fathur yang terjatuh. Raju terseok mundur dengan tubuh bergetar dan bibir pucat. Kembali bersembunyi. Hampir saja. Aku mencoba mengintip. Ular itu kembali bergerak, mencoba mengendus beberapa tempat dengan lidah bercabangnya. Perhatiannya tampak tertuju pada cahaya senter yang dipegang Galih.

“Galih! Ular itu tertarik dengan sentermu!”

Shaash! Grakk..!!

Kepala ular itu menghantam balik pohon tempatku berlindung. Aku menelan ludah, mendekap tubuh Amel. Ular itu baru saja terusik dengan teriakanku. Untung saja Galih paham apa yang kumaksud. Ia segera memadamkan senternya, membuat suasana menggelap seketika.

“Aku alihkan ularnya, kalian cepat melarikan diri.”

Aku menoleh, Galih entah datang dari mana sudah berada di sebelahku sambil tetap memegang senternya. Aku mengangkat alis, memastikan apa yang ia katakan.

“Aku alihkan ularnya, kalian cepat melarikan diri.”

Galih mengulangi kata-katanya. Lirih, ia tidak akan memancing perhatian ular itu lagi. Aku menggeleng cepat.

“Kau mau mengalihkan ular itu?”

Galih mengangguk kuat. “Tidak ada waktu untuk bertanya lagi, As,” ujarnya sambil berbisik, “Ular itu harus dialihkan. Kau tahu, ia semakin cepat. Ia tadi lambat mungkin karena sudah lama sekali tidak bergerak. Aku curiga ular itu bisa lebih cepat lagi nantinya. Kalau sampai begitu, tamat sudah riwayat kita. Satu-satunya cara, Asgar. Perhatian ular itu harus dialihkan.”

“Kau yang mengalihkannya?”

Galih mengangguk, “siapa lagi, As. Kau menggendong Amel. Raju dan Fathur mereka berpengalaman. Tidak akan ada yang jadi beban kelompok.” Galih mengintip lagi, ular itu masih mengendus-endus dengan lidah bercabangnya. “Ayolah, kita tidak bisa berlama-lama. Atau bau nafasmu tercium hewan itu.”

“Tidak mungkin lih.” Aku memaksa, tidak mau membiarkan Galih melakukan ide konyol itu.

“Ada sebenarnya As. Aku akan melemparkan senter itu ke arah lain dan ular itu akan mengejar ke sana. Tapi itu lebih gila. Ia kalau ular itu mengejar, kalau tidak? Kita kehilangan benda berharga itu. Kalau iya pun, berapalah jarak lemparanku? Jangan salahkan kalau setelah itu kita kembali disusul. Itu mengerikan sekali.”

Lihat selengkapnya