Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #19

Rumah Paman Jo

Rumah kecil itu terlihat temaram dari kejauhan.

“Nah, kita sudah sampai!” Fathur berseru senang. Ia berlari kecil mendahului kami. Aku menghela nafas lega, kembali memperbaiki posisi Amel, menyusulnya. Aku sempat menoleh ke arah Raju yang sedikit tertinggal di belakang, mengajaknya. Ia hanya tersenyum, wajahnya tampak sangat kelelahan. Fathur di depan sana sudah mengetuk pintu, terlihat seorang laki-laki paruh baya membukakannya, memandangi kami dan Fathur bergantian. Aku mempercepat langkah. Jujur sejak keluar dari hutan tadi kedua kakiku seperti kesemutan saking letihnya.

“Mereka teman Fathur, paman Jo.” Fathur memperkenalkan kami. Aku beranjak mencium tangannya, juga Raju. Orang tua itu tersenyum dan mengangguk, lantas mengajak kami masuk ke dalam. Fathur tampak bergegas menyiapkan beberapa kasur dan bantal seadanya. Ia segera menyuruhku meletakkan Amel di salah satu kasur, sedangkan ia bergegas lagi mengambilkan handuk dan baskom air.

“Biar aku saja yang mengurus Amel, kalian bisa membersihkan diri lebih dulu, pintu kamar mandi di sebelah sana.” Sambil tetap memegang handuk basah Fathur menunjuk sebuah pintu di dekat perapian. Aku mengangguk, mengajak Raju untuk segera membersihkan diri.

Selesai mencuci muka, tangan dan kaki, aku cepat-cepat kembali. Ternyata sudah ada Paman Jo yang ikut menemani Amel. Wajah mereka tampak serius. Aku segera mendekat, menatap wajah Amel yang pucat. Tampak dari rautnya seperti menahan sakit yang teramat sangat.

“Syukurlah dia masih bernafas.” Kata Paman Jo setelah memeriksa sebentar. Kami segera merapat, ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh orang tua itu lagi. Setelah mengurut kening dan menghela nafas pelan, Paman Jo bergegas menuju sebuah lemari kaca tak jauh dari pintu masuk, mengambilkan beberapa botol berisi cairan.

“Seperti apa hewan yang mengejar kalian?”

 “Ular, paman. Tapi ular itu besar.. besar sekali, seperti monster.” Fathur menjawab dengan raut wajah tegang. Paman Jo menuangkan dua botol dengan cairan berbeda. Hijau dan hitam. Lantas mencampurkannya dengan air putih dalam sebuah gelas mungil.

“Buka mulutnya.”

Aku bergegas membukakan mulut Amel. Paman Jo menuangkan cairan itu perlahan ke dalam mulutnya. Kami menunggu dengan perasaan harap-harap cemas.

“Matanya merah?”

“Benar paman.” Aku yang menjawab cepat. Ingat sekali mata mengerikan hewan itu. Paman Jo meletakkan gelas kecilnya yang sudah tandas. Beralih mengambil kapas dari wadah yang juga sudah ia siapkan dan menuangkan cairan lain berwarna kuning ke atasnya.

“Ceritakan lebih detail. Aku ingin memastikan dugaanku benar atau salah.”

Raju menyikut lenganku, menyuruh untuk bercerita. Aku menelan ludah, menatap Paman Jo, mulai bercerita. Paman Jo mendengarkan sambil mengoleskan hati-hati kapas itu pada guratan luka di kaki Amel. Aku bercerita bagian terpentingnya saja, juga tentang Galih, aku tidak menceritakannya. Kami sudah sepakat untuk merahasiakan bagian itu dari Paman Fathur.

“Berarti dugaanku tidak salah.” Sahut Paman Jo setelah kembali dari mengobati kaki Amel.  “Itu hewan yang memangsa rekanku saat itu.” Lanjut Paman Jo sambil menutup kembali botol-botol kecilnya. Kami menatap wajah Paman Jo ngeri.

“Rekan Paman?”

Tanyaku ingin tahu. Paman Jo melambaikan tangan, “bagian itu akan kuceritakan kapan-kapan saja.”

Aku menggangguk, kembali menatap wajahnya yang terkesan begitu tegas dan berwibawa.

“Benda yang kalian kira batang pohon itu badannya. Kalian lihat sendiri bukan? Sisik ular itu tebal-tebal, menyeruak seperti kulit pohon kering. Sebenarnya selama kalian tidak terlihat dan tidak menimbulkan suara yang mengganggunya, ular itu tidak akan tahu keberadaan kalian. Itulah sebabnya ketika teman kalian menyalakan senter, ular itu mulai menyerang. Juga ketika kau berteriak,” Paman Jo menatapku, “ular itu menyerang lagi. Walau matanya merah menyala, itu hakikatnya ia tidak bisa melihat. Entah kenapa aku juga tak tahu, tapi ular itu benar-benar tidak melihat, dan juga, mata ular normal tidak ada yang berwarna merah.”

Paman Jo terdiam sejenak. Aku masih terus menatapnya, tak bisa mengedipkan mata.

“Umur ular itu mungkin sudah ratusan tahun, ia sangat berbisa. Bahkan kalian bisa lihat sendiri. Teman kalian ini hanya terkena goresan sisiknya.”

Kami saling pandang lagi. Hanya terkena sisik bisa seperti itu?

“Lebih tepatnya, ia terkena sisik ular itu ketika tersandung di sana. Racun yang terdapat pada kulit ular itu sempat masuk ke lukanya.”

“Lantas apa penawarnya, paman?” Raju bertanya tak sabaran. Paman Jo tidak langsung menjawab. Orang tua itu hanya kembali mengamati barutan luka pada kaki Amel. Luka itu sudah kering, tapi warna kulitnya masih saja membiru, bahkan kali ini hampir memenuhi setengah betisnya. Aku menahan nafas, cemas menunggu jawaban Paman Jo.

“Penawarnya hanya tetua itu yang tahu.” Setelah lama terdiam hanya itu yang keluar mulut Paman Jo. Kami serempak mendesah kecewa. Kenapa harus tetua itu lagi?

“Tapi aku sudah meminumkan obat penawar racun biasa. Mungkin, untuk 12 jam ke depan kondisinya akan terlihat lebih membaik.”

Kami menghela nafas, walau belum sepenuhnya lega. Bila belum mendapat penawarnya, itu berarti kondisi Amel bisa memburuk sewaktu-waktu. Bahkan, seperti yang dikatakan Paman Jo, waktu Amel hanya setengah hari. Setelahnya tidak ada yang tahu.

“Sudahlah, lebih baik kalian istirahat untuk memulihkan tenaga. Kau terutama, siapa namamu?” Paman Jo menatapku sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya