Ruangan 8x8 m³ itu lengang. Aku menatap sekitar, ruangan itu penuh dengan peralatan bengkel dan mesin-mesin tua. Tapi, walaupun begitu lantai yang kupijak benar-benar bersih. Bahkan semua barang di sini tertata dengan baik. Tumpukan ban, mesin tua, besi, dan entah material apa saja yang aku tidak tahu terkelomok di tempatnya masing-masing.
“Ini ruangan khusus, Asgar. Bahkan Fathur sendiri baru sekali masuk ke sini. Iya kan?” paman Jo menoleh ke arah Fathur yang berjalan di sisinya. Anak itu tersenyum.
Aku menatap takjub seluruh sudut ruangan itu. Seumur-umur aku belum pernah masuk ke dalam ruangan seperti ini. Begitu tertutup dan benar-benar terasa seperti berada di dunia lain. Sejenak, mataku tertuju pada salah satu mesin besar yang tertutup kain di tengah ruangan. Aku cepat menuju ke sana.
“Ini apa, paman?” tanyaku setelah berdiri tepat di sebelah mesin berselimut kain hitam itu. Posisinya hampir lima kali lipat tinggiku. Paman Jo tersenyum, berjalan ke arahku.
“Ini yang ingin kutunjukkan pada kalian.” paman Jo menatap kami sebelum menarik selimut hitam mesin itu. Kami seketika membulatkan mata. Benda yang awalnya kukira mesin besar itu ternyata sebuah mobil van tua setengah jadi. Sebagian besar bagiannya masih berupa rangkaian tanpa casing. Aku mencoba meneliti beberapa bagiannya. Keseluruhan mesin tampak tua, tapi benar-benar terurus.
“Ini mobil Lincoln keluaran 1950. Paman dapat kenang-kenangan dari teman yang waktu itu akan pergi ke luar negeri. Ini mobil tipe station-wage.” Kata paman Jo sambil berjalan mengitari mobil yang tergantung pada sebuah belalai besi itu.
“Hanya saja karena sudah lama tak terpakai karena beberapa tahun lalu rusak, aku memutuskan untuk membongkarnya. Kalian mau ikut memperbaikinya?”
Aku dan Amel saling tatap. Paman Jo tertawa lebar.
“Dengan tetap kubantu maksudnya. Kalian merakit mesin, aku yang mengarahkan. Nanti bagian yang susah serahkan padaku. Bagaimana?”
Aku mengangguk antusias, menatap Fathur dan Amel, ternyata mereka sama antusiasnya denganku. Terang saja, siapa yang tidak mau diajak merangkai mobil hebat seperti ini?
“Baiklah, kita mulai eksperimennya!”
Paman Jo mengajak kami menuju meja kerja, menjelaskan apa saja yang akan kami kerjakan nanti. Kami mendengarkan dengan seksama, lebih banyak bingung dengan istilah-istilah baru yang ia katakan. Paman Jo sering kali tertawa ketika kami salah menanggapi, atau dengan suka hati mengulangi bagian-bagian rumit yang harus benar-benar dipahami. Sesekali aku malah lebih memperhatikan jambang paman Jo yang menyatu dengan janggutnya yang bergerak-gerak, terlihat begitu serasi dengan model rambutnya yang keren. Kalau tidak salah sering kulihat di film-film Action barat.
“Bagaimana, mudah bukan?” Ujar paman Jo di akhir penjelasannya. Kami mengangguk hampir bersamaan. Paman Jo mengetuk meja tanda pekerjaan dimulai. Kami bergegas bangkit dari kursi, mengambil sarung tangan oranye yang dibagikan paman Jo.