Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #21

Semua Rahasia

Aku meremas kertas itu, menatap Raju nanar.

“Katakan, Ra. Katakan apa yang terjadi dengan Galih!” aku kalap bertanya, tidak terima. Galih selamat, dan aku tahu sekali bahwa dari bahasanya ia sendiri yang menulis surat itu. Tapi di akhir kalimatnya, ia bilang silakan menemuinya di Akademi. Bukankah itu sebuah kebodohan? Tidak mungkin pula ia yang sudah membelot seperti itu masih dibiarkan hidup oleh tetua. Pasti ada sesuatu yang direncanakan oleh laki-laki sialan itu.

Raju hanya menggeleng, Amel yang entah sudah sadar dengan keadaan atau belum mengajak kami untuk masuk. Membicarakannya dengan kepala dingin di dalam. Aku mendengus kesal, mengikuti dari belakang.

***

“Nah, sebenarnya apa yang kau temukan di jalan?” Fathur bertanya setelah meletakkan lima cangkir teh di hadapan kami. Raju menghela nafas sebentar, menatap kami satu persatu.

“Ini persoalan rumit teman-teman. Akupun berusaha untuk terus berprasangka baik bahkan sejak bertemu Galih saat itu. Kalian tahu aku bertemu dengannya di mana?”

Kami bertiga serempak menggeleng.

“Di Akademi.”

Aku dan Amel hendak membuka mulut, tapi Raju mengangkat tangannya, meminta kami untuk mendengarkan lagi.

“Malam itu aku sebenarnya menuju hutan utara. Tapi firasatku mengatakan hal lain. Kalau saja Galih selamat, pasti hanya tetua yang bisa menyelamatkannya. Maka, aku langsung berbelok nekat menuju Akademi. Untungnya, semua kejadian kita malam itu belum diketahui sebagian besar anak-anak akademi, yang masih seangkatan dengan kita. Akupun bertemu dengan Icang ketua kelompok Hiu lima, kau tahu, thur?”

Fathur mengangguk.

“Dugaanku benar, Galih masih selamat. Begitu berpapasan ia langsung memberikan surat itu, bilang dari Galih. Setelah kutanya, ternyata ia sendiripun tidak menyadari kalau ada yang aneh dengan kelompok kita. Malah kata dia, setahu anak-anak akademi, kelompok kita sedang mengadakan misi baru.”

“Tetua menyamarkannya?” aku menyela tidak sabaran.

“Bisa jadi.” Raju menatapku serius. Aku menghela nafas kesal.

“Itu kedok ketua, ra. Menurutku ia menyimpan hal-hal buruk yang terjadi dengan anak-anak akademinya.” Sahut Amel.

“Berarti itu sebabnya selama ini yang kita lihat di akademi baik-baik saja.” Fathur geram menimpali. Raju menghela nafas lagi, mengambil cangkir teh di hadapannya.

“Oooh, aku paham. Kenapa waktu itu kita diberi tugas sulit.” Amel mangut-mangut sendiri, kami menoleh ke arahnya. “Jangan-jangan ini semua ada sangkut pautnya dengan kau, Asgar.” Lanjut Amel sambil menatapku serius. Aku terkejut, mencoba mengingat-ingat kembali.

“Jangan-jangan..” aku lirih menebak sesuatu. Astaga, aku hampir melupakan satu hal!

“Jangan-jangan foto di ruang tetua itu..” aku tersendat lagi, ingin sekali menolak pikiran-pikiran buruk yang melintas di kepalaku.

“Apa yang kau lihat, As?” Fathur yang saat itu melihatku menemukan sebuah foto mendesak penasaran. Aku menatap ketiga temanku bergantian.

“Jangan bilang ini semua ada sangkut pautnya dengan ibuku!” aku berseru marah. Fathur menatapku makin bingung, sedangkan Raju dan Amel membulatkan mata.

“Katakan apa yang kau lihat, As!”

Lihat selengkapnya