Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #22

Senior Hiu Senior

“Puluhan tahun lalu, paman memiliki dua orang sahabat, saat masih seumuran kalian. Namanya Sobar dan Agus. Kami satu desa, bahkan masih bisa dibilang tetangga dekat. Nah, suatu hari, musibah datang. Entah kenapa aku juga tidak tahu, yang jelas, malam itu Agus datang ke poskamling tempat biasa kami bermain sambil menangis. Dan esok lusanya kami baru tahu kalau orang tua Agus bercerai. Mungkin karena itu, hari-hari setelahnya Agus tidak pernah terlihat lagi. Aku dan Sobar juga sudah menyempatkan untuk bertandang ke rumahnya. Tapi kata tetangga, rumah mereka sudah di jual dan Agus entah kemana perginya.

Enam bulan kemudian, tepatnya di hari kelulusan sekolah. Kami tiba-tiba dikejutkan dengan sosok Agus yang datang dengan wajah cerah. Sangat jauh berbeda dengan enam bulan yang lalu sebelum kabarnya menghilang. Kami yang baru saja pulang dari sekolah langsung memeluknya erat, melepas rindu sahabat lama yang baru saja kembali lagi. Sambil berjalan ia bercerita banyak hal, termasuk panti asuhan yang sekarang ia tempati. Sebenarnya kami sangat iba, terutama kabar yang baru kami dengar kalau orang tuanya setelah bercerai tidak ada yang mau menanggung cicilan rumah mereka. Tapi Agus setelah itu bilang, ia tidak apa-apa. Bahkan sekarang ia hidup bahagia di panti asuhan yang menampungnya. Semua tercukupi. Bahkan ia merasa lebih baik panti asuhan yang sekarang dari pada rumahnya dulu.” Paman Jo berhenti sebentar, menyeruput kopinya lagi. “Kalian tahu panti asuhan yang ia maksud?”

Kami menggeleng hampir bersamaan. Jelas tidak tahu, bahkan baru mendengar kalau panti asuhan itu ada.

“Panti asuhan itu adalah cikal bakal Akademi CH.” Kata paman Jo sambil meletakkan cangkirnya. Kami menatap terkejut.

“Panti asuhan?” Kami saling tatap, masih belum mengerti apa yang paman Jo maksud.

“Begini saja, akan kujelaskan dari awal.” Kata paman Jo sambil tertawa, “panti asuhan itu adalah panti asuhan biasa. Hanya saja, satu bulan setelah Agus mengajak paman untuk bertandang ke sana, virus flu burung sempat melanda satu negara, dan beberapa titik yang dianggap parah termasuk kota ini. Sekolah-sekolah diliburkan, pekerjaan tertunda, toko-toko dan pasar sepi. Dan naasnya, tempat-tempat yang disinyalir mudah terjangkit adalah daerah yang minim akan kebersihan, atau bangunan-bangunan panti jompo dan panti asuhan, karena fasilitas yang tidak memadai. Dan satu minggu kemudian kabar buruk kembali datang, hampir empat puluh orang panti asuhan yang ditempati Agus meninggal dunia.”

Kami serempak membulatkan mata, menatap paman Jo yang menghela nafas.

“Aku dan Sobar sempat datang ke sana, bersama beberapa warga yang memberanikan diri, kami menyaksikan langsung pemandangan mengerikan di sana. Benar-benar hampir empat puluh mayat dibariskan di pelataran panti. Orang-orang dari rumah sakit sibuk lalu lalang, mobil ambulance meraung-raung, mayat-mayat mulai diangkut satu persatu ke atas mobil jenazah. Aku dan Sobar benar-benar terpukul saat itu. Dan hanya soal waktu kabar duka itupun menyebar bahkan hampir satu minggu lamanya, seluruh stasiun televisi menyiarkan berita panti asuhan itu.”

“Lalu paman, apa hubungan akademi dengan pandemi itu?” aku bertanya lagi, semakin penasaran. Paman Jo tersenyum, menatap kami satu persatu.

“Sebenarnya dari virus itulah dimulainya pembentukan Akademi.”

“Dari virus itu?”

“Benar, anak-anak. Kalian tahu, sebenarnya kabar kematian itu hanya kebohongan belaka. Di buat-buat. Dan hebatnya tidak ada kabar yang bocor sedikitpun bahkan sampai sekarang. Semua anak-anak panti asuhan itu telah dipindahkan ke bangunan peninggalan Belanda. Dan mayat-mayat di pelataran itu hanyalah manipulasi. Rumah sakit dan pihak panti sudah bersepakat, dengan pencair yang tak sedikit tentunya.”

“Anak-anak itu tidak membuka mulut? Mereka di paksa?”

Paman Jo menggeleng, “tidak, mereka tidak sebodoh itu. Ini urusan publik, semua mulut harus disumpal, bahkan kalau bisa anak panti paling kecil sekalipun. Semua anak pindah dengan lapang dada, gembira, bahkan menanti-nanti tempat baru mereka. Pemimpin panti, yang sudah tidak asing lagi di ingatan kalian, menjanjikan tempat yang lebih luas, fasilitas yang lebih memadai, makanan yang lebih enak di tempat baru itu. Kalau kalian ingin tahu lagi, kenapa tidak pindah secara jujur saja pada orang-orang, pada wali-wali mereka? Jawabannya mudah, anak-anak. Karena ada rencana jangka panjang setelah itu. Mereka akan menghilang dari permukaan.”

Aku menelan ludah, baru tahu kalau cikal bakal akademi akan seperti itu.

“Lantas, paman tahu dari mana?” Amel, dengan cerdasnya kembali bertanya kritis. Paman tertawa melihat tatapan tidak percaya Amel.

“Pertanyaan yang masuk akal. Kabar itu tidak bocor sedikitpun, tapi paman yang bukan termasuk empat puluh orang itu bisa tahu. Aih, Amel, kenapa tidak kau kira-kira saja?” paman tersenyum menatap amel. Yang ditatap hanya menyengir, menggeleng pelan.

“Ya memastikan saja paman.”

Paman Jo terkekeh. Kami hanya diam menunggu jawabannya.

Lihat selengkapnya