Aku segera berlari ke ruang tengah, menyambar botol dengan cairan warna hijau dan hitam, berlari kembali dengan tergesa.
“Ini, paman!”
Keringat sebesar-besar jagung masih mengalir deras membasahi wajah Amel. Bibirnya bergetar. Kami menatapnya jeri, apa yang dirasakannya sekarang? Paman Jo cepat menuangkan dua cairan tadi ke dalam gelas berisi air yang juga diambilkan Fathur, mengaduknya.
“Efek obatnya habis sebelum waktunya.” Kata paman Jo sambil membuka mulut Amel dan meminumkannya. Kami menyaksikan dengan cemas. “Kalau begini kita tidak bisa langsung berangkat. Kita harus menunggu obatnya bekerja sementara Amel masih belum sadarkan diri.” Lanjut paman Jo sambil menutup kembali botol-botolnya.
“Kenapa bisa habis sebelum waktunya?” Tanyaku sambil menatap cemas paman Jo.
“Kalau ditanya kenapa aku juga tidak sepenuhnya tahu, As. Tapi kemungkinan besar karena fisik Amel yang kurang kuat. Boleh jadi anak itu punya penyakit dalam, masalah golongan darah atau gen. Tapi sekali lagi kita harus bersyukur, Asgar, Fathur, Raju,” paman Jo juga menoleh ke arah Raju, “Teman kalian hanya tergores sisiknya. Astaga, bisa jadi lawan kita ke depan adalah ular itu juga.” Lanjut paman Jo, membuat kami menelan ludah.
“Lalu bagaimana ini, apa rencana selanjutnya, paman?” Raju melupakan hal ular, menatap paman Jo. Hening sesaat. Aku terus menatap wajah Amel. Dari rautnya aku bisa tahu kalau ia sedang berjuang menahan rasa sakit lagi. Paman Jo beranjak berdiri, melihat ke arahku dan Raju.
“Bawa Amel ke kamar. Sementara waktu, kita susun rencana dulu.”
Aku dan Raju mengangguk, segera mengangkat Amel menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar paman Jo.
“Tapi paman, kita akan berangkat menggunakan apa?” Fathur bertanya sebelum beranjak berdiri. Paman Jo menoleh, menunjuk bangkai mobil Lincoln yang tergantung di tengah ruangan.
“Kita susun rencana setelah menyelesaikan si kuning itu.”
***
Kami bertiga, bersama paman Jo bahu membahu merakit sisa mobil Lincoln, menyelesaikan bagian terakhir. Tugas paman Jo merakit bagian-bagian penting, sedangkan kami memasang yang mudah, menyambungkan kabel-kabel. Desain mobil Lincoln itu tidak ada yang diubah. Hanya mengganti beberapa bagian yang dianggap perlu. Seperti kaca depan, paman Jo memilih untuk menggantinya dengan yang anti peluru.
“Kenapa tidak semuanya saja, paman?” Tanya Raju saat membantu mengangkat kaca itu dari pojok ruangan.
“Ini saja hanya satu-satunya.” Jawab paman Jo sambil terkekeh, menyuruh Raju untuk membawanya ke bagian depan.
Paman juga memilih ban dengan kualitas terbaik. Kata beliau, bisa saja mobil ini terlibat dalam pertarungan melawan anak buah tetua. Ban biasa tidak akan mampu bertahan lama bila terlalu sering bergesekan dengan aspal, terbanting, atau melewati medan ekstrem. Kami mengangguk-angguk, membayangkan kami akan seperti lakon di film-film aksi nanti.