Kami segera mengganti kostum. Penyamaran.
“Kau pakai baju apa, Ra?” aku sebal mencari-cari baju yang cocok denganku, menoleh ke arah Raju yang sudah mematut diri di depan kaca.
“Terserah, yang penting pakai baju.” Jawabnya tak acuh. Aku mendengus, melirik ke arah Fathur yang sudah selesai dengan kaos dan celana pendeknya.
“Kenapa, As?” Fathur tertawa, berjalan menghampiriku. Memang semua baju yang akan kami pakai adalah milik Fathur. Aku menggeleng, sibuk memilih lagi.
“Kau ada celana panjang tidak?” tanyaku. Fathur menggeleng.
“Aku malas pakai celana panjang, hanya dua. Satu dipinjam Raju, satunya tertinggal di Akademi. Kalau mau aku tanyakan dulu ke paman. Siapa tahu beliau punya celana panjang waktu muda dulu.”
Aku menyetujui. Fathur berlalu menuju kamar pamannya.
“Ra.” Aku berjalan menuju kasur yang bersebelahan dengan cermin. Duduk menghadap Raju.
“Hm?”
“Sebenarnya ada yang lupa kutanyakan pada paman.” Aku melirik sejenak Amel yang terlelap di belakangku.
“Apa itu?” Raju menoleh, sudah siap dengan kacamata hitamnya. Aku menutup mulut, tertawa.
“Kenapa, ada yang salah?” tanyanya. Aku menggeleng. Masih tertawa.
“Tidak, cocok sekali malah.” Jawabku sekenanya. Raju berkaca lagi, tidak begitu memedulikan gurauanku. Setelah selesai dengan kemeja dan celana panjangnya, ia ikut duduk di sebelahku.
“Tanya apa?”
“Cerita paman Jo kemarin. Yang jadi pertanyaanku adalah, paman sendiri tahu bukan kalau Fathur ikut di akademi?”
Raju mengangguk-angguk, “Oh, kau mau tanyakan kenapa paman Jo tidak melarang keponakannya itu ikut di akademi?”
Aku mengangguk. Raju tertawa kecil.
“Iya juga ya. Nantilah, kita tanyakan dijalan.” Kata Raju lantas menoleh, Fathur sudah datang dengan celana hijau yang masih terlipat rapi di tangannya.
“Ini.” Fathur menyodorkannya. Aku berterima kasih, menerima celana dengan kain tebal itu. Menuju kamar mandi untuk mengenakannya.
“Kau punya topi pet, Thur?” Aku bertanya setelah kembali dari kamar mandi. Fathur mengangguk. Melemparkan topi pet dari dalam lemari yang sedang dirapikannya. Aku menuju cermin, memasangkan topi di kepala. Menggeleng.
“Nampaknya kita butuh masker, Thur.”
Fathur menghentikan tangannya, melihat ke arahku.
“Benar juga. Penyamaran kita masih terlalu kentara. Tapi kalau kita memakai masker semua, malah mencurigakan.”
“Lalu bagaimana?” tanyaku sambil mencoba menurunkan lagi ujung topi pet. Sama saja, wajahku masih tampak jelas untuk dikenali.
“Kau punya rambut palsu, Thur?” Raju tiba-tiba bertanya. Aku langsung menoleh ke arahnya. Tertawa. Pertanyaan apa lagi itu? Sejak kapan Fathur yang polos begitu suka memakai rambut palsu?
“Maksudmu wig?” Tanpa kuduga Fathur malah balik bertanya.
Raju mengangguk. Fathur terlihat mengingat-ingat sejenak, balas mengangguk. “Kalau tidak salah ada. Dulu untuk drama di sekolahan. Aku berperan sebagai pengembara dengan rambut panjang.” Fathur tersenyum di ujung kalimatnya. Beranjak menuju lemari besar di pojok kamar. Giliran aku yang menatapnya terheran. Hah?
Fathur tertawa setelah berkutat lama membongkar baju-baju lamanya, mengeluarkan sebuah wig dengan rambut masai. Raju ikut tertawa, menerimanya. Hanya aku yang meringis melihat betapa menyedihkannya wig itu. Terlihat sudah lama sekali tidak dipakai. Kusut dan tidak terurus.
“Ternyata kau benar-benar punya, Thur.” Raju memasang wig itu di kepalanya, “berapa waktu itu kau beli?”