Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #25

On The Road

Mobil yang kami tumpangi segera melesat menuju jalanan kota. Di kursi belakang, aku memeriksa senapan otomatis kembali. Berpikir banyak tentang tetua, terlebih soal foto itu. Aku yakin kalau perempuan di dalamnya adalah ibuku. Tapi lagi-lagi yang menjadi tanda tanyanya adalah, apa hubungan mereka berdua? Apakah mereka teman kerja? Aku menggeleng. Tentu tidak. Tidak mungkin sekali bahkan. Pekerjaan apa yang mereka lakukan bersama? Setahuku Ibu selama ini hanya menjadi guru SD di kampung. Atau teman? Sahabat? Atau jangan-jangan tetua adalah ayah yang selama ini tidak pernah kulihat? Eh, aku menepuk dahi. Mengutuk kepalaku sendiri yang berpikiran tidak-tidak. Raju yang duduk di sebelahku sampai menoleh, menatap terheran.

"Kenapa, As?"

Aku meringis, "Tidak."

Raju memutar bola matanya, kembali menatap ke depan. Mobil Lincoln kami sejauh ini masih berjalan mulus, tidak ada masalah sama sekali. Paman Jo ternyata benar-benar ahli dalam hal mengotak-atik mobil.

"Eh, As. Kapan kita tanyakan perihal Fathur waktu itu?" Setelah sekian lama menatap ke depan Raju menoleh, berbisik. Aku membalas tatapannya beberapa saat.

"Yang mana?"

"Yang tadi."

"Kapan?"

Raju mendengus, kesal melihatku yang berpura-pura lupa. Aku tertawa melihat kumis buatannya yang miring terkena dengusan.

"Iya iya, aku ingat, Ra. Tapi kau mau bertanya sekarang?"

Raju kembali mendengus, kali ini kumis buatannya benar-benar terlepas. Aku hampir tergelak kalau saja tidak ingat paman Jo dan Fathur di depan tidak tahu pembicaraan kami.

"Kan aku tanya kapan baiknya, As." Raju berbisik lagi, ternyata ia tidak benar-benar kesal, beralih mengambil kumisnya yang terjatuh. Aku mengangguk dua kali, mengangkat bahu lagi, tidak tahu.

"Kalau sekarang kenapa?"

"Kau mau bertanya langsung pada Paman Jo?" Raju memasang kumisnya. Aku berpikir sebentar. Masalah ini boleh jadi harus ditanyakan langsung pada Paman Jo, atau malah jangan sampai orang tua itu tahu. Karena mungkin, hal itu merupakan masalah internal keluarga mereka dan beliau akan tersinggung bila kami menanyakannya.

"Tidak, mungkin. Atau kita tanyakan pada Fathur saja?"

Raju menatapku sejenak. "Berarti tidak sekarang?"

Aku mengangguk. Kami kembali menatap ke depan. Fathur dan Paman Jo terlihat tidak berbicara apapun. Aku menyenderkan punggung, berusaha merilekskan badan. Memang hawa saat ini sedikit tegang. Untuk kami, mungkin juga Paman Jo, beberapa saat lagi urusan pasti tidak akan semudah apa yang dibayangkan. Tadi saja Raju mengajak berbicara. Kalau tidak, mungkin kami sama tegangnya dengan Fathur.

Lima menit, sepertiga perjalanan menuju Akademi, aku memutuskan untuk bertanya, memecah keheningan.

"Ehm, kalau boleh tahu, apakah paman masih punya teman di Akademi?"

Paman Jo yang masih fokus mengemudi hanya melirik sebentar, tersenyum, mengangkat bahu. Mobil yang kami tumpangi berbelok masuk ke jalan besar. Serupa tol yang belum beroperasi.

"Tidak tahu, Asgar. Dua puluh tahun yang lalu, itu bukan waktu yang sebentar. Kalau adapun, mungkin kami sudah tidak saling kenal." Paman Jo terkekeh, membuatku menyengir tipis di belakang. Memang benar, dua puluh tahun, itu bahkan setara dengan umur sekolah sampai lulus sarjana Doktor.

"Tapi bagaimana dengan mereka, Paman? Apakah setelah selesai dari sana mereka boleh pergi dari Akademi?"

Paman Jo terlihat berpikir sebentar di depan. "Kalau itu aku juga tidak tahu. Bagaimana dengan kalian? Bukankah kalian juga pernah di sana?"

Lihat selengkapnya