Paman Jo berteriak, berusaha mengendalikan mobilnya yang oleng. Aku dan Raju yang baru saja terbanting ke kiri susah payah bangkit, melihat ke belakang. Dua buah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam dan senapan mesin terlihat menambah kecepatan motornya di belakang.
TRANG!! TRANGG!!
Aku dan Raju serempak kembali merunduk, mengindari tembakan. Siapa mereka? Paman Jo mengeraskan rahang, mengganti gigi. Membuat mobil mendecit sebelum kembali menambah kecepatan.
"Bisa jadi mereka utusan Akademi, Paman!" Teriakku di belakang. Kembali terbanting ke kanan, Paman Jo menghindari sebuah mobil di depan.
"Tapi bagaimana mereka bisa tahu kalau kita ada di sini?!" Fathur sambil terus merunduk dan berpegangan bertanya. Aku menggeleng di belakang, mengaduh, kepalaku terbentur pintu mobil.
"Bisa saja, Fathur. Kaca mobil kita bukan kaca film, jadi tetap kelihatan dari luar!" Raju yang menjawab, anak itu sudah kembali ke posisinya, mengokang senjata.
"Bersiap anak-anak! Tidak peduli siapa di belakang, siapkan senjata kalian! Mereka sudah menyerang kita!" Paman Jo berseru, melirik spion mobil, kembali membanting stir. Lima tembakan menyerempet sisi kanan mobil.
Satu motor di belakang menambah kecepatan, datang dari arah kanan, menembak beruntun. Paman Jo dan Fathur sigap merunduk.
PRANGG!!
Kaca mobil pecah berantakan. Pengendara motor itu memukulnya dengan popor senjata. Paman Jo mengeraskan rahang, membanting stir ke kanan, balas memepet si pengendara motor.
WET!
Si pengendara motor berhasil menghindar, mengurangi kecepatan. Paman Jo ikut menginjak rem, mengembalikan mobil yang keluar dari bahu jalan. Kami menahan nafas.
"Paman, terus kendalikan mobil! Kami yang akan mengurus mereka!" Aku berseru sambil melongok keluar dari pintu mobil, balas melepas tembakan. Di sisi kanan, Raju melakukan hal yang sama. Tapi motor di belakang dengan mudahnya bermanuver dengan tanpa merasa harus mengurangi kecepatan. Meliuk-liuk lincah. Terlihat benar-benar terlatih dengan medan seperti ini.
"Aku yakin mereka dari Akademi, Asgar!" Raju berseru, kembali masuk ke dalam mobil, menghindari tembakan balasan. Aku menelan ludah, kembali ke posisi, mengusap leher.
"Tapi dari mana mereka tahu?"
"Entahlah, tidak bisa dibahas sekarang!"
Kami kembali berpegangan, Paman Jo membanting stir di depan.
"Bertahan, anak-anak! Paman tidak bisa terus berjalan lurus. Mereka bisa saja mengincar ban, dan akan membuatnya meledak!"
Aku menelan ludah, melihat ke belakang. Sial! Satu motor terlihat mendekat ke arahku. Aku segera mengarahkan senapan, mengganggu lajunya dengan tembakan. Tapi orang itu tetap santai memacu kendaraannya, beberapa peluru yang mengenai tubuhnya tidak berefek sama sekali. Aku kembali menyandarkan punggung sejenak di sofa, mengokang senjata. Kawanan itu memakai rompi anti peluru!
NGUNG!
Aku menoleh, motor itu mulai mengimbangi di sebelahku. Aku berpikir cepat, setengah detik, menatap Paman Jo setengah detik kemudian. Tidak perlu waktu lama, aku mendengus, tidak perlu bantuan Paman Jo. Pengendara motor di sebelah mulai menggerakkan senjata, siap menembak. Tapi aku sudah lebih cepat membuka pintu mobil, bergelayut, melompat ke samping, mengerjakannya dalam waktu satu detik. Mengerjakannya cepat sekali. Bahkan sebelum orang itu melepas tembakan atau mengurangi laju.
BRAKK!!
Aku menendangnya sekuat tenaga. Pengendara itu jatuh, terseret, juga dengan motornya yang bergelimpangan tertinggal di belakang.
YES!