Tiba-tiba, dari arah depan, puluhan peluru memberondong mobil kami. Paman Jo dan Fathur serempak merunduk, menghindari tembakan. Ban mobil pecah, kami sempat terseret beberapa meter sebelum akhirnya berhenti tepat di tengah-tengah terowongan. Dua Jeep di belakang ikut berhenti. Empat Jeep lainnya muncul dari arah depan, menyiram kami dengan sinar lampunya.
“Siapa mereka?” Aku mendesis sambil tetap merunduk. Raju di sebelahku menggeleng, wajahnya terlihat pucat pasi. Kami benar-benar terkepung sekarang. Lihatlah, enam buah mobil Jeep mengepung kami sekaligus. Aku mencoba mengangkat kepala, Paman Jo sendiri sekarang terlihat tidak yakin. Sebuah peluru berhasil menembus lengan kanannya. Membuat orang tua itu hanya bisa mengaduh di kursi kemudi. Sedangkan Fatur sama pucatnya di depan, terus meringkuk waspada mereka kembali memberondong dengan tembakan. Kami benar-benar seperti penjahat yang tertangkap basah.
“Segera keluar, Hiu Besar!” Seseorang di depan mulai berteriak, kembali menembaki bagian depan mobil kami. Aku menahan nafas. Hiu Besar? Raju di sebelahku menoleh, saling tatap denganku. Apa? Berarti mereka dari Akademi? Berarti dugaanku sejak tadi tidak meleset?
DOR! DOR!!
Orang itu kembali menembaki bagian depan mobil. Nampak sekali ia benar-benar terlatih. Tidak terlalu mendekati mobil walaupun membawa banyak orang, karena bisa jadi mereka membahayakan diri sendiri. Terdengar suara mendesis. Paman Jo sambil menahan lengannya yang bersimbah darah menoleh ke belakang.
“Mau tidak mau kita harus segera keluar, anak-anak. Mesin mobil sudah mulai bocor sana sini. Aku takut mobil sebentar lagi akan meledak.”
Aku menelan ludah, mengangguk ke arah Raju. Bagaimanapun, benar kata Paman Jo. Lagi pula untuk apa kami terus meringkuk seperti ini? Bukankah kami memang sudah siap dari sebelumnya? Keluar atau tidak, kami sama tertangkapnya. Hanya saja sebagai pengecut di dalam dan sebagai pemberani diluar. Raju membalas anggukanku. Mungkin ia berpikiran sama. Kami segera mengangkat kepala. Aku terhenyak, menghitung jumlah mereka. Enam belas. Berarti mereka berkendara empat orang satu mobil. Aku menoleh ke belakang. Sepuluh. Aku baru menyadari kalau orang-orang itu berseragam resmi Akademi. Hitam lengkap dengan lambang hiu nya.
“Mereka benar dari Akademi, As.” Raju berbisik di sebelahku. Matanya tajam memperhatikan lambang hiu berwarna keemasan yang menunjukkan kalau mereka Hiu Senior. Aku mengencangkan pegangan senapan. Dua orang mendekat perlahan dari kanan dan kiri begitu melihat kami berdiri.
“Kita harus melawan, Ra.”
“Jangan!” Paman Jo mendesis dari depan, “kita kalah jumlah dan amunisi, As. Jangan berbuat konyol. Paman tidak mau ada yang menjadi korban di antara kita.”
“Lalu kita harus bagaimana, Paman? Pasrah begitu saja?” Aku menjawab cepat, berseru tertahan. Baru kali ini nada bicaraku lebih tinggi dari Paman Jo. Aku memang benar-benar tidak ingin kembali ke ruangan itu. Raju di sebelah juga ikut membenarkan posisi senapan, tanda kalau ia juga sudah siap bertempur.
Paman Jo di depan terdiam. Orang tua itu pasti sedang memikirkan banyak hal. Kami sama-sama sudah memahami konsekuensi berurusan dengan Tetua; siapa saja yang berani memberontak, mereka harus mati. Tapi kami tidak ada yang ingin kehilangan satu sama lain.
“Lebih baik kita menyerah dulu, Asgar. Mungkin ada sedikit kesempatan dari pada melawan.” Paman Jo berbicara dengan bibir pucat. Darah yang keluar dari lengannya membuat orang tua itu sedikit lemas.
Aku mendengus pelan, melihat keluar. Orang yang meneriaki kami tadi sudah kembali berseru agar kami keluar dan meletakkan senjata.
“Maaf, Paman.” Aku mendobrak pintu. Tidak lagi menghiraukan seruan Fathur, tatapan bingung Raju, dan panggilan Paman Jo yang gagal menangkap tanganku. Aku lompat keluar, melepas tembakan, menumbangkan dua orang di depan. Berguling, cepat menembak ke belakang. Menumbangkan lima orang sekaligus, membuat kawanan lainnya mencoba bertahan di balik mobil-mobil Jeep. Aku mengeraskan rahang. Tidak lagi peduli. Lebih baik mati dari pada harus menyerahkan diri pada Tetua.
Kawanan Hiu Senior di depan cepat menyerbu dengan berondongan peluru. Aku tersengal, merapat ke sisi mobil, posisiku benar-benar buruk. Tidak ada tempat berlindung yang memadai.
DOR! DOR! DOR!