Black Coffee

rizky al-faruqi
Chapter #28

Akhir Semuanya

Kami baru tersadar saat semuanya telah berubah. Tidak ada lagi lorong, mobil Lincoln yang rusak, Hiu-Hiu Senior, dan juga Nathan. Aku mengedarkan pandangan. Raju, Fathur dan Paman Jo terikat berbaris di sebelahku. Persis seperti saat berada di ruangan pemanas. Hanya saja kali ini berbeda. Ruangan ini lebih mirip gudang seperti biasanya dengan satu pintu. Dan satu cerobong dengan besar dua kali lipat di belakang yang membuatku sedikit terheran. Lebih mirip tempat pembakaran kayu untuk menghangatkan ruangan. 

“Bagaimana keadaan Paman?” Aku bertanya saat Paman Jo melihat ke arahku. Orang tua itu tersenyum, mengangguk. Baik. Pendarahan di tangannya sudah berhenti, walaupun wajah Paman Jo masih terlihat pucat.

“Maafkan aku, Asgar. Kita semua tertangkap.”

Aku menggeleng, tersenyum. “Tidak, Paman. Akulah yang seharusnya minta maaf. Gara-gara kami Paman Jo ikut terkena masalah.”

Paman Jo menggeleng, “Aku juga akan ke sini, As, walaupun tidak bertemu kalian. Aku sudah berjanji akan menemui Nathan dan membawanya pulang. Ia tanggungjawabku.”

Fathur menghela nafas berat tidak jauh dariku. Wajahnya terlihat begitu murung. Aku ikut menghela nafas, paham apa yang ia rasakan sekarang. 

KRIET.

Satu-satunya pintu ruangan itu terbuka. Aku, Raju, Paman Jo dan Fathur serempak menoleh. Orang paling penting di Akademi itu akhirnya datang dengan sepuluh ajudan bersenjata lengkapnya. Aku tidak lagi kaget. Sudah tahu kalau orang itu akan datang sendiri, karena kami adalah ‘tamu undangan’ nya.

“Selamat malam, Tuan, anak-anak.” Orang paling penting itu tersenyum, menyapa kami. Aku diam saja, juga Raju dan Fathur. Hanya Paman Jo yang membalas dengan senyuman. Orang tua itu lebih memilih tetap bersopan santun meski dengan orang yang (mungkin) sebentar lagi membunuhnya. Aku malah lebih tertarik dengan sapaan selamat malam itu. Apakah sekarang benar-benar sudah malam? Kalau begitu kami tertidur hampir setengah hari.

Seorang ajudan langsung menyiapkan sebuah kursi. Seperti biasa, Tetua akan berbicara ‘santai’ dengan siapapun. Aku melirik sekilas sepuluh ajudan itu, tidak ada Nathan di sana.

“Good, apakah aku harus berbasa-basi dulu?” Tetua bertanya sambil tersenyum. Kami tetap diam, memilih untuk tidak menjawab. Tetua menghela nafas, mengangguk berulang.

“Kalian tahu apa alasanku mengundang kalian?”

Raju dan Fathur tetap diam. Aku sendiri yang menyeringai tipis. Tetua itu menggunakan kata ‘mengundang’ yang berarti ‘memaksa untuk datang’. 

“Good, mungkin kalian terlalu letih sehingga malas untuk berbicara.” Tetua terkekeh pelan, sedikit merubah posisi punggungnya.

“Sebelum aku beri tahu alasannya, aku ingin memuji kebolehan kalian dulu. Karena kalian benar-benar kelompok yang hebat. Prestasi kalian sangat mengagumkan. Pertama, misi Lanthanum. Bayangkan, untuk masuk ke pabrik Lanthanum itu bahkan aku butuh Hiu Senior. Tapi kalian berhasil menyelesaikannya dengan baik, bahkan dalam tugas pertama kalian. Dua, masuk ke ruangan pribadiku. Mencari petunjuk masuk ke ruangan itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki ketajaman naluri yang tinggi. Ketiga, lolos dari ruangan pemanas. Empat, berhasil selamat di dalam hutan, dan lima, berhasil kabur dengan menghilangkan jejak. Untuk tiga yang terakhir aku katakana kalian pantas mendapatkan penghargaan dariku.” Tetua itu bertepuk tangan, menatap kami dengan tertawa.

“Nah, setelah melihat semuanya, aku berpikir dua kali untuk melepas kalian. Terlalu sayang orang-orang seperti kalian hidup susah diluar. Lebih baik kalian tetap di Akademi, dengan penawaran pangkat Hiu Senior untuk kalian. Bagaimana, lebih baik, bukan?” Tetua menatap kami bergantian, kembali tersenyum. 

“Tidak, Tetua. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, kami tidak dapat memenuhi ajakan Tuan.” Raju yang berada di ujung ruangan tiba-tiba menjawab, suaranya terdengar tegas. Aku dan Fathur mengangguk. Jelas sekali itu, untuk apa kami mempertaruhkan nyawa kalau akhirnya kami kembali?

Raut wajah Tetua yang tadinya cerah sedikit berubah demi mendengar jawaban Raju. Tapi, orang tua itu tetap kembali tersenyum. Mungkin ia masih punya harapan untuk membujuk kami.

“Good. Aku senang dengan jawaban itu. Menunjukkan kalian memiliki tekad yang kuat. Baiklah, bagaimana dengan ajudan? Walaupun sedikit terdengar berat, aku rasa kalian juga sudah pantas menerimanya.” Tetua kembali menawarkan, lengkap dengan senyumannya. Tapi, aku yang mendengar kata-kata ‘ajudan’ sudah tidak terlalu mendengarkan kalimat terakhirnya. Tiba-tiba aku teringat dengan Galih. Hei, di mana anak itu sekarang? 

“Maaf beribu maaf, Tetua. Dengan segala hormat, kami tidak bisa menyanggupi ajakan Tuan.” Raju kembali menjawab dengan tegas.

“Kami sudah memutuskannya, Tetua. Jadi, tolong lepaskan kami dari sini. Kami tidak ingin mempunyai urusan lagi dengan Tuan.” Fathur ikut menjawab dengan nada lebih sopan. Aku kembali menatap wajah Tetua. Orang tua itu tidak lagi tersinggung. Terlihat jelas dari air mukanya yang tidak berubah sama sekali. 

“Oh, baiklah, kalau itu mau kalian, aku tidak bisa memaksa.” Tetua kembali tersenyum, beranjak dari kursinya. Aku, Raju dan Fathur ‘sedikit’ menghela nafas lega. Hanya Paman Jo saja yang sama sekali tidak menunjukkan kalau beliau senang dengan ucapan terakhir Tetua. Malah kali ini raut wajahnya tampak waspada. 

“Orang itu belum selesai.” Paman Jo tiba-tiba mendesis di sebelahku. Aku tertegun, menoleh.

“Maksudnya, Paman?” 

“Ya. Orang tua itu belum sepenuhnya menyerah. Kalau saja yang ia katakan benar, tentu saja kita sudah dilepaskan.” Paman Jo kembali mendesis. Aku menelan ludah. Benar sekali, sangat tidak mungkin orang tua itu membiarkan kami begitu saja di sini.

“Baiklah, kalau begitu aku tidak bisa memaksa-” Tetua itu kembali mengulangi ucapannya, menghentikan langkah sejenak. Aku tertegun, juga Paman Jo. Apakah yang dicemaskan Paman Jo menjadi kenyataan?

Tetua berwajah tampan itu menoleh, “-tapi makhluk lain lah yang akan memaksanya.”

CTAK!

Belum sempat kami mengerti apa yang orang tua itu maksud, suara mendesis tiba-tiba muncul dari belakang. Kami serempak menoleh. Suara itu berasal dari cerobong besar. Aku dan Fathur saling pandang. Apa? Apakah Tetua memanggil hewan yang kami temui di hutan itu?

“Silakan berpikir, anak-anak. Waktu kalian hanya sepuluh detik sampai penghuni cerobong itu benar-benar menelan kalian.” Tetua yang sudah kembali menghadap ke arah kami menyeringai. Aku menelan ludah, nafasku tiba-tiba memburu. Raju memanggilku, ia yang sedari tadi begitu yakin juga mulai telihat cemas. Hewan itu, suaranya semakin jelas. Nampaknya ia sedang dalam perjalanan keluar cerobong demi mendengar ‘isyarat’ dari Tetua. 

Paman Jo terlihat berpikir keras, menghela nafas. Raut wajahnya terlihat menyerah. Tetua di depan sudah sempurna tertawa melihat kami yang kebingungan. 

“Sudahlah, aku tahu kalian masih ingin hidup, bukan?”

Lihat selengkapnya