Fairbanks, Alaska
Dear Francis, aku sedang memandang Aurora Borealis. Seandainya kau ada di sini, memandangnya bersamaku. Damai sekali di sini, aku bisa merasakan damai yang selalu kudambakan. Jauh dari kepalsuan yang kuterima, jauh dari kritikan, jauh dari tuntutan untuk menjadi sempurna... Bukan berarti aku tidak pernah merasa damai bersamamu, Francis... Tapi semua telah hilang...
Air mata Bianca menetes memandang cahaya-cahaya indah di langit Fairbanks. Dari tadi dia terus memikirkan kalimat apa yang akan dituangkannya dalam surat yang akan dikirimkannya nanti.
“Excuse me, Miss..”
Bianca dikejutkan oleh seorang lelaki muda yang ternyata sedari tadi sudah berdiri tak jauh darinya. Bianca menoleh, menatap lelaki itu.
“Indah sekali ya?” ucap lelaki itu.
Bianca hanya diam, memandangi lelaki di hadapannya, tampak tinggi, rambutnya berwarna hitam dan mengenakan jaket tebal. Pria itu sangat tampan.
“Kamu bukan orang sini ya?”
Bianca menggeleng.
“Kamu tinggal di mana?”
“Rivers Edge Cottage,” Bianca berucap untuk pertama kali.
“Kamu tahu kalau nama Aurora berasal dari nama seorang dewi Romawi?” ucapnya.
“Oh ya?”
Lelaki itu mengangguk, “Dewi Fajar yang muncul setiap hari dan terbang melintasi langit untuk menyambut terbitnya matahari. Sedangkan nama Borealis, diambil dari kata Boreas, bahasa Yunani, yang berarti angin utara.”
“So beautiful...” Bianca kembali memandang langit, memandang cahaya-cahaya berwarna yang sangat indah di langit.
“Kau terlihat kedinginan. Lebih baik kita cari kedai untuk membuatkanmu minuman hangat,” ucap lelaki itu kemudian.
Dear Francis, aku tenggelam pada saat pertama kali bertemu denganmu disini. Saat itu aku yakin, kamu adalah lelaki untukku...
Bianca memandang salju di luar dari dalam kedai. Salju itu menutupi atap-atap rumah, jalanan, dan mobil-mobil yang terparkir di tepi-tepi jalanan.
“Kau mau berbagi tentang apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya lelaki yang duduk di hadapannya, terpisahkan oleh meja bundar kecil, dengan secangkir coklat hangat di atasnya.