Namaku Eliza Valerie Durhamn. Aku seorang violinist ternama dunia. Aku tertarik mempelajari biola sejak berusia dua tahun. Di usia 6 tahun, aku sudah membuat rekaman bersama Jakarta Philharmonic Orchestra. Usia 9 tahun, aku melakukan debut internasional dengan tampil bersama London Philharmonic Orchestra dan menjadi tamu kehormatan Kerajaan Inggris. Saat ini, jangan tanya betapa terkenalnya aku di mata dunia.
Sebut saja, AKU BUKAN ORANG SEMBARANGAN. Aku spesial. Aku bukan hanya seorang maestro, orang-orang menjuluki aku sebagai seorang violin virtuoso, mesin bermain violin, The Next Paganini.
Setidaknya itulah gambaran besarku tentang diriku sendiri yang memberi perspektif keyakinan dalam hati di setiap momen kehidupanku, termasuk saat ini, ketika aku sedang melangkah perlahan memasuki Aula Simfonia Jakarta : Gedung konser klasik termewah se Asia Tenggara, bersama konduktor muda tampan bernama Issac Lynz dengan setelan jas berlidah pada bagian belakang, pakaian khas seorang maestro saat menyelenggarakan konser klasik.
“Ladys and Gentleman, please welcome our soloist, Maestro Eliza Valerie Durhamn and our conductor, Maestro Issac Lynz.” Suara pembawa acara menggema ke seluruh penjuru gedung, menyambut kedatangan kami dengan diiringi gemuruh tepuk tangan dari seluruh anggota orkestra yang berdiri begitu kami memasuki aula, dan dari seluruh penonton yang sedang duduk di kursi-kursi kehormatan maupun pada tribun berundak-undak di sekeliling kami.
Aku berdiri di tengah anggota The New York Philharmonic Orchestra yang berada tepat di belakangku, membentuk barisan indah pada panggung berbentuk setengah lingkaran. Cahaya dari satu-satunya lampu kristal klasik, menggantung indah di tengah panggung, memberikan dampak dramatis pada postur tubuh dan gaun biru kehitamanku. Konser ini merupakan konser kolaborasi antara aku, konduktor Issac Lynz dan The New York Philharmonic Orchestra bertajuk “Seven Country of Classical” dimana negara kelahiranku, Indonesia menjadi lokasi penampilan terakhir diantara 7 negara terpilih.
Begitu kami berada di posisi yang tepat, bersisian, master concert, Issac dan aku saling bersalaman, menyatakan bahwa kami siap bekerjasama dalam penampilan ini, kemudian aku meletakkan ujung lower bout dari violin diantara bahu dan leher kiriku, dan menempatkan daguku pada chinrest senyaman mungkin. Tangan kiriku menggenggam ringan leher violin, sedangkan tangan kanan memegang bow, melakukan pengecekan nada terakhir kalinya dengan cara memutar beberapa tuning pegs dan fine tuner, memastikan setiap nada terdengar akurat sambil menggesekkan bow pada senar.
Setelah merasa semua nada tepat pada posisinya, aku menganggukan kepala sedikit kepada Issac, kemudian kami menundukkan kepala di hadapan pengunjung Aula Simfonia Jakarta, lalu seluruh anggota orkestra duduk menempati posisinya masing-masing. Seketika itu pula suasana menjadi hening, senyap. Hingga baton- tongkat kecil konduktor- yang dipegang oleh Issac bergerak, diikuti dengan berbagai nada yang keluar dari violinku.
‘Nocturne in E Flat Major op. 9, No. 2’ karya dari Frederic Francouis Chopin menjadi musik pembuka pada konser ini. Getaran - getaran nada merambat dari setiap senar yang bergesekan dengan helai demi helai rambut tipis yang terikat pada bow menuju body violin dan merambat di udara hingga terdengar pada telinga setiap pendengar. Melodi legato terdengar berulang, melantun secara cepat dari satu nada ke nada berikutnya, dengan variasi nada dekoratif dan trills yang semakin rumit, namun tetap terdengar sangat indah menyentuh hati dan jiwa setiap orang yang mendengar. Terlebih penampilan ini diiringi oleh harmoni berbagai alat musik string seperti violin, viola, cello, harpa, contrabass serta beberapa jenis alat musik lainnya, membawa kesyahduan menuju dunia indah musikalisasi romantis yang diselimuti ketenangan dan kebahagiaan.
Bagiku, nocturne selalu merefleksikan suasana malam hari yang penuh mimpi, dingin, teduh namun dapat beralih menjadi hangat membara oleh perasaan cinta dan kerinduan. Nocturne memang diciptakan Chopin pada era romantic. Saat itu, Chopin menciptakan karya nocturne sebanyak dua puluh satu buah. Musik ini mengesankan musik yang lebih bebas dan individualistis, ‘Nocturne in E Flat Major Op. 9, No. 2’ sendiri di dedikasikan oleh Chopin untuk seorang wanita bernama Madame Camille Peyel.
Ketika seluruh penonton dan anggota orchestra semakin terhanyut dalam permainan musik, aku mendengar sebuah kejanggalan. Pada awalnya terdengar sayup-sayup, timbul tenggelam, not-not yang berbeda dari not musik ‘Nocturne in E Flat Major Op. 9, No. 2’ yang seharusnya. Mataku mulai melirik setiap anggota orchestra, sambil terus memainkan melodi nocturne dengan tempo yang tepat, mencari sumber permasalahan. Tapi suara itu bukan berasal dariku dan bukan pula berasal dari anggota orchestra. Semakin lama melodi violin itu semakin terdengar jelas, bukan ‘Nocturne in E Flat Major Op. 9, No. 2’, bukan pula karya Chopin lainnya, atau karya Vivaldi, bukan karya dari para musisi klasik yang kukenal. Aku mencoba untuk terus berusaha fokus pada permainanku, entah mengapa, tidak ada reaksi apapun dari konduktor, anggota orchestra maupun penonton, seolah-olah tidak satupun dari mereka mendengarkan nada janggal itu.
Kalaupun melodi ini berasal dari luar gedung pertunjukkan, itu adalah hal yang mustahil, karena gedung pertunjukkan ini berskala internasional. Gedung berskala internasional tidak mungkin menggaungkan suara dari luar, gedung ini kedap suara. Tapi siapa pelakunya? Aku benar-benar membenci pengkhianatan, siapapun pelakunya, akan kupastikan untuk mengakhiri kontrak kerjasama dengan para pengkhianat.
Tak lama kemudian, suara tersebut mulai menghilang, meskipun bingung dan kesal, masih saja tak ada seorang pun yang mendengar selain aku, karena saat keseluruhan piece ‘Nocturne in E Flat Major Op. 9, No, 2’ berakhir, reaksi yang timbul hanya gemuruh tepuk tangan dari seluruh penonton.
Bahkan saat jeda istirahat, aku sempat berbisik pada Issac apakah ia mendengar kesalahan pemain violin yang memainkan sheet musik berbeda. Namun, Issac sama sekali tidak mendengar kesalahan dan sedikit menudingku dengan berkata, “Kau tidak mungkin gugupkan?”
Tentu saja aku tidak gugup, sudah bertahun-tahun lalu aku meninggalkan kegugupanku, aku bukan pemain amatir yang baru memulai perjalanan musiknya. “ Fokus , Elz.” Aku mengangguk ketika mendengar ucapan Issac, meskipun tidak merasa puas dengan jawaban Issac, tapi setidaknya aku sedikit lega dengan kenyataan bahwa suara itu tidak mengganggu penampilan kami. Akupun mulai memusatkan kembali perhatianku, memberikan sentuhan-sentuhan jiwa dan rasa di dalam setiap nada yang kumainkan, sehingga setiap orang yang mendengarnya turut terhanyut merasakan makna dan pesan yang ingin disampaikan dari setiap karya.
Kami memainkan beberapa instrument musik lain setelah jeda istirahat, di antaranya ‘Violin Concerto in D major Op 35’ karya Tchaikovsky, ‘Gymnopedie No. 1’ karya Eric Satie, tentu saja beberapa musik instrument hasil karya asliku, serta sebagai lagu penutup, kami memainkan ‘Clair de Lune’ karya Claude Debussy. Beberapa karya musik instrumental klasik ditampilkan dalam konser ini, dengan keanggunan dan keagungan. Tentu saja, tampil sebagai soloist dan harus berdiri selama dua jam bukanlah hal yang sulit untukku, karena aku telah melatih fisikku sejak lama agar selalu bugar, terutama bagian kaki karena seorang pemain violin sering kali harus berdiri dalam waktu lama seperti saat ini.