Setelah penampilan berakhir, kami semua bergegas menuju ruang istirahat masing-masing. Kami beristirahat sejenak sebelum menghadiri jamuan makan malam yang diadakan pemilik Aula Simfonia Jakarta, dan tentu saja setidaknya memberikan waktu bagiku untuk memikirkan apa yang sebenarnya baru saja terjadi di atas panggung.
Jika memang terjadi ledakan, mengapa hanya aku yang mengalaminya sedangkan tidak seorangpun selain diriku dapat merasakannya? Lantas ledakan apa itu tadi? Siapa yang berani-berani melakukannya di tengah penampilan simfoni sedemikian megah? Berbagai pertanyaan tak terjawab bergelayut di pikiranku yang terus berputar mencari sebuah jawabannya. Sebab waktuku untuk menjawab berbagai pertanyaan itu tidak banyak, mengingat bahwa setelah ini, aku harus menghadiri acara jamuan makan malam yang akan dihadiri oleh tamu-tamu VIP yang berasal dari kalangan tokoh-tokoh penting, baik dari dunia permusikan, petinggi pemerintahan negara Indonesia, kelembagaan serta beberapa perusahaan ternama.
Dijadwalkan bahwa salah satu tamu VIP yang akan hadir dalam acara ini adalah Menteri Kehutanan. Semua ini bisa terjadi karena 50 persen penghasilan dari konser tujuh negara akan disumbangkan untuk membiayai perlindungan hutan hujan di Indonesia, bukan hanya itu, badan amal yang kudirikan ‘Eliza Foundation’ juga menyumbangkan bantuan dana sebesar 80 Miliar untuk restorasi hutan hujan Indonesia. Eliza Foundation bergerak dalam berbagai hal, terutama pemulihan hutan dan perlindungan anak-anak. Tentu saja hutan hujan di Indonesia menjadi target sasaran bantuan kami. Selain itu, Ray lah orang yang paling bersemangat dalam membentuk badan amal. Menurutnya dengan mendirikan badan amal, setidaknya dapat menutupi skandal-skandal yang terjadi akibat keangkuhanku.
Dengan benak yang terus memikirkan banyak sekali permasalahan aku berjalan menuju ruang istirahat yang telah disiapkan oleh panitia acara. Sesuai arahanku, mereka memberikan ruangan yang sangat nyaman, sebuah ruang istirahat berisi buket-buket bunga yang harum semerbak menawarkan relaksasi bagi pikiranku yang bergemuruh.
“Eliza, menurutmu apa yang kau lakukan di atas panggung tadi??” managerku Ray masuk ke dalam ruang istirahatku. Ray, pria berusia di penghujung kepala tiga, bertubuh tinggi kurus dengan kulit kecoklatan khas yang mengenakan setelan jas berwarna abu-abu tua, serta kumis dan janggut tipis berwarna kebiruan, juga berambut ikal pendek, menampakan raut wajah kecewanya di hadapanku.
“Duduklah dulu!” Perintahku padanya sambil menujuk kursi di hadapanku menggunakan mata dan daguku, sedangkan kedua tanganku terlipat di depan dada. Dengan segera Ray duduk pada sebuah kursi yang diletakan berhadapan denganku. Kutegakkan tubuhku, menyilangkan kaki, lalu berbicara dengan suara berbisik, agar tak ada orang lain yang dapat mendengar selain Ray. Entah mengapa aku takut orang lain mendengar ucapanku, padahal kami hanya berdua di dalam ruangan ini.
“Ray, kau melihatnya? Dipanggung tadi?” baru saja aku mengucapkan dua kalimat, Ray langsung memberondongku dengan ocehannya.
“Elz, kau sudah mengubah acara begitu saja, saat ini semua pihak meminta penjelasan darimu, terutama sponsor kita! Untung saja kau adalah Eliza Sang Maestro dan Virtuoso Violinist paling terkenal di negeri ini. Aku benar-benar kewalahan membelamu, untung saja mereka semua percaya dengan penjelasanku! Bagaimana jika wartawan mengendus kesalahanmu? Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu?”
“Diamlah! Jangan mengeluh terus!” aku menghardiknya. “Itu kan memang sudah tugasmu untuk menangani semua. Kembali ke pertanyaan, kau mendengar dan melihat hal aneh tidak?” aku menekankan pertanyaanku kembali. Aku menimbang-nimbang ulang apakah perlu memberitahukan tentang semua yang kulihat dan kudengar, memberitahu seluruhnya, setengahnya, atau tidak sama sekali.
“Satu-satunya hal aneh yang kulihat hanya kau.” Jawab Ray tanpa ekspresi. Ia memijat dahinya yang berkerut, ia berpikir cukup keras. Aku mendengus kesal. Aku benar-benar tidak menyukai kebiasaannya yang selalu melakukan gerakan memijat dahi ketika berbicara denganku.
“Kau tidak mendengarnya?? Seorang pemain violin memainkan lagu yang berbeda saat konser tadi. Kau melihat ledakkan itu tidak? Ledakkannya begitu besar! Aku pikir aku akan mati di panggung tadi!” Kuberondong Ray dengan pertanyaan yang sangat menggelisahkanku.
“Ledakkan apa maksudmu? Mana mungkin ada orang yang berani memainkan lagu lain, orang gila mana yang mau mencari masalah denganmu? Mungkin kau yang gila, mengada-adakan sesuatu yang tidak ada!” Ray berdiri dari tempat duduknya, ia mulai menuding-nudingku.
“Hei, Ray, maksudmu kau benar-benar tidak mendengarkan lagu itu dan tidak melihat ledakannya?” aku mencondongkan tubuhku ke depan.
“Astagaaaa, Eliza. Dengar ya, aku mengatur segala hal tentangmu, dan harus berapa kali lagi kukatakan, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang aneh. Sepertinya kau benar-benar kelelahan dan butuh istirahat.” Ray terlihat gundah, ia menatapku tegas. “Eliza, kau harus hadir di acara jamuan makan malam! Jangan buat keanehan apa pun lagi. Semua tamu kehormatan akan hadir disana.”
Aku menggaruk-garuk leher, kemudian menggaruk tangan, wajah, punggung dan hampir seluruh tubuh, berlagak gatal. “Ugh, aku alergi dengan pria cerewet. Berhenti bicara sebelum kulempar kau ke puncak Himalaya!”
Ray menarik nafas panjang. Ia tampak mengalah, “Ok. Jadi apa maumu sebenarnya, Eliza?”
“Dengarkan baik-baik. Kehadiranku di acara jamuan makan tergantung kau, Ray. Aku ingin kau cari siapapun pemain atau pemegang violin berbunyi sangat ringan dan jernih. Suaranya seperti lonceng angin. Kau pernah mendengar suara violin Stradivarius tertua kan? suara violin yang kudengar di aula tadi lebih indah dari itu. Cari tahu apakah dia yang memainkan violin selama konser berlangsung. Cari tahu juga jika ada anggota orkestra yang memiliki partitur berbeda selain partitur musik yang dimainkan saat konser tadi, beri pelajaran dan tuntut mereka, siapapun pelaku yang mencoba merusak penampilanku!
Satu lagi, kerjakan semuanya secara diam-diam, jangan sampai wartawan mengendusnya. Jika kau mau melakukannya, aku akan segera bersiap sekarang juga untuk jamuan makan malam itu!”
“ Oke,” jawab Ray sambil mendengus kesal.
“ Sudah cepat! Lakukan perintahku dan suruh saja make up artis masuk kesini! Kau ingin aku hadir di perjamuan makan, kan?”
Ray sudah jadi managerku selama lebih dari lima tahun. Ia mengetahui persis karakterku. Segala hal yang kuinginkan harus segera terpenuhi. Selebihnya aku pasti mengikuti seluruh arahannya.
“Thank you, Elz,” sapanya sambil keluar ruangan.
“Cepatlah!” Seruku kepadanya.
Setelah yakin Ray melaksanakan perintahku, Aku membuka lebar pintu ruang istirahat, mempersilakan dua make up artis dan seorang fashion stylist yang diperintahkan oleh Ray untuk menjalankan tugasnya. Mereka segera mulai memperbaiki riasan di wajah juga tata rambutku. Rambut hitam berombak sebahuku dibiarkan terurai, sebagian diselipkan dengan manis di balik telinga kananku. Seorang fashion stylist merapikan gaun body fit berwarna emas yang akan kugunakan saat jamuan makan malam. Menurutnya warna emas akan sangat cocok dengan warna rambut dan pupil mataku. Ia juga terus-menerus merapikan bagian yang berkerut menggunakan setrika uap, untunglah uapnya mengeluarkan aroma harum dan tidak terlalu menyemburkan panas.
Tidak seorangpun dari mereka bertiga berani menimbulkan keributan, mereka semua bergerak secara profesional, bekerja tanpa banyak bicara akan tetapi menghasilkan hasil karya berkualitas. Berkat kualitas kerja mereka, aku dapat menikmati suasana hening di sekelilingku sambil mengenang violin berharga yang kuberi nama ‘The Wind’ karena suaranya mengingatkan aku dengan kesejukan hembusan angin di atas bukit berbunga.
‘The Wind’ adalah violin berusia 323 tahun buatan tangan dengan kualitas tinggi yang pertama kali kudapatkan dari Paman Zen. Paman Zen adalah satu-satunya keluarga yang kuketahui dan merawatku setelah aku kehilangan kedua orangtuaku di usia enam tahun. Hanya saja setahun lalu, akupun harus kehilangan Paman Zen, akibat serangan jantung. Di dunia ini aku kembali tinggal sebatang kara, bersikap keras adalah satu-satunya caraku bertahan hidup hingga detik ini.