“Sa, kamu baik-baik saja?” tanya seorang gadis yang duduk di sebalahku dengan suara yang hanya bisa didengar oleh kami berdua. Ava terlihat cemas.
Aku hanya mengangguk setelah menghapus air mata sambil berusaha menampilkan ekspresi sewajar mungkin, meski nyatanya wajahku sekarang malah terkesan sangat kaku dan pasti aneh sekali, tapi setidaknya itu lebih baik daripada harus menunjukkan wajah menangis di depan banyak orang.
Aah, apa yang sedang aku lakukan, sih? Aku datang ke tempat ini karena menemani Ava sebagai perwakilan kelas yang mengikuti rapat bersama OSIS karena Amanda, si Ketua Kelas kami sedang absen hari ini. Ava memintaku datang dengan jurus andalan mata kucingnya hingga aku tidak mampu menolak lagi, dia berjanji kami hanya akan mengisi presensi kehadiran, duduk mendengarkan, lalu pulang.
Kami bahkan memilih kursi paling depan agar tidak melewatkan sedikit pun informasi tentang perayaan hari ulang tahun sekolah yang akan diselenggarakan bulan depan. Namun sekarang, situasi macam apa ini? Aku memang sangat ceroboh. Ya ampun! Aku bahkan terlalu malu untuk membuat alasan agar bisa keluar dari auditorium ini.
“Ayo, aku antar ke ruang kesehatan,” ucap Ava lagi sambil menyentuh pundakku.
Aku menggeleng sembari menunduk dalam. Huuuh, memalukan, ini sangat memalukan, tapi aku masih tidak bisa menahan air mataku.
“Apa ada masalah?” tanya seorang laki-laki yang entah sejak kapan sudah berdiri di depanku.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala setelah membereskan jejak basah di pipiku. Selama beberapa detik aku hanya bisa ternganga. Mataku silau menghadapi pemandangan indah yang seolah menjadi pusat dari pendaran cahaya terang yang memancar dan memenuhi ruangan ini.
Orang ini, Jovan Cakradara? Kak Jo yang itu? Dia bicara kepadaku? Ketua Osis SMA Cendekia yang sangat populer dan dipuja oleh seluruh siswi di sekolah ini. Murid teladan sekolah kami yang selalu dielu-elukan oleh para guru. Manusia yang katanya gambaran hidup dari kata "sempurna" sedang bicara kepada butiran debu seperti aku.
Dia memang terkenal sangat baik kepada semua orang. Bersikap ramah kepada salah satu siswa yang satu almamater dengannya adalah hal yang sangat wajar. Tapi masalahnya sekarang, orang itu tepat berada di depanku sembari sedikit merendahkan tubuhnya tepat ketika wajahku mendongak, membuat jarak di antara wajah kami menjadi terlalu dekat. Astaga! Aku bisa merasakan tatapan menusuk dari gadis-gadis di ruangan ini. Hawanya menjadi sangat dingin dan mencekam. Menakutkan.
“Boleh lihat kartu pelajarmu?” tanya Kak Jo sambil menengadahkan tangan kanannya tanpa berpindah posisi.
Aku merogoh ransel di pangkuanku, meraba isinya dengan sembarangan, karena mataku belum mampu berpaling dari senyum Kak Jo yang sangat nyaman untuk dilihat. Ini bukan seperti aku mendadak jatuh cinta karena ada pangeran tampan dan baik hati yang tiba-tiba bersikap ramah kepadaku, hanya saja keterkejutan ini sepertinya membuat gerak saraf motorikku melambat. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain menyerahkan benda pipih yang diminta Kak Jo dengan sikap seperti robot yang sudah berkarat.
“Carlise Kirania Nareswari dari kelas I-D, dengan siapa namamu dipanggil?” tanya Kak Jo setelah membaca nama yang tertera dikartu pelajarku.
Heh? Dia menanyakan namaku? Tapi, bagaimana ini? Memangnya siapa nama panggilanku? Siapa saja, tolong! Otakku tiba-tiba kosong.
“Lisa,” sahut Ava karena aku tidak kunjung memberi jawaban.
“Baiklah, Lisa. Jadi apa yang membuatmu terlihat begitu murung? Apakah ada yang membuatmu merasa terganggu di sini?” tanya Kak Jo masih dengan posisinya
yang belum berubah.
“Bukankah seharusnya kamu bergeser dahulu sebelum bertanya lebih lanjut? Atau aku mungkin akan terus mematung seperti ini. Masalah utamanya sekarang justru keberadaanmu.”
Kira-kira begitulah bunyi protes dari suara yang menggema dalam kepalaku yang tentu saja tidak mungkin bisa kuungkapkan.
“Katakan saja, siapa tau aku bisa membantumu sebelum rapat dimulai. Sepertinya masih ada waktu,” imbuh Kak Jo sambil memundurkan wajahnya yang tampan.
Ya Tuhan! Akhirnya oksigen di sekitarku kembali. Walau tidak menolak kenyataan atmosfir di sekitar kami masih terasa aneh dan dingin, setidaknya aku bisa bernapas dengan normal.
“Bukan sesuatu yang serius,” gumamku sambil berpaling agar tidak bertemu pandang dengan laki-laki itu.
Bukan maksud hati untuk bertindak tidak sopan karena menghindari kontak mata saat bicara dengan orang lain, hanya saja mengingat alasanku menangis beberapa saat yang lalu membuat rasa malu yang sempat aku lupakan kembali lagi. Aku tidak berpikir untuk bisa menyampaikan semua itu dengan jujur, apalagi ketika semua mata di ruangan ini sedang terfokus ke arahku. Ya ampun...yang benar saja! Jika ini adalah film kartun, aku yakin akan ada asap mengepul di sekeliling wajahku yang sudah memerah terbakar malu.
“Jika bukan masalah serius berarti tidak masalah untuk menceritakannya, kan.”
Kak Jo tampak sangat penasaran. Wajah tersenyumnya masih bertahan, namun aku bisa menangkap sedikit tekanan dalam nada bicaranya. Astaga, aku mulai terintimidasi hanya sikapnya itu. Haruskah aku menjawabnya? Kenapa dia harus memaksa, sih? Aku tidak bisa terus menerus begini seperti ini.
Aku melirik Ava berusaha mencari pertolongan, namun gadis itu hanya meringis bingung sembari mengangkat bahu. Sudah kuduga hadir di tengah keramaian selalu mendatangkan masalah.
“Lisa,” panggil Kak Jo tampak menunggu membuatku menelan ludah kasar. Tenggorokanku menjadi sangat kering.