Black Mirror

R. Wardani
Chapter #3

Third Quest_Player Identification: Lisa # Cerita Di Antara Deret Buku

Hari ini adalah Rabu, aku sengaja datang lebih pagi karena jam pertama adalah olahraga. Bukan karena aku sangat berantusias, tapi labih karena harus menyempatkan diri untuk sarapan di kantin sekolah. Aku tidak ingin pingsan di depan semua orang seperti minggu lalu dan menambah kejadian memalukan dalam daftar kehidupan SMA yang masih berada di ujung ini. Yah, walau cukup memalukan, setidaknya karena kejadian itu aku jadi bisa memaksa diriku untuk duduk di sini dengan sepiring nasi goreng. Sepertinya makan di pagi hari bagus juga.

Tidak ada yang mengurus makananku sebagai anak kos. Biasanya aku selalu menggabungkan sarapan dan makan siangku karena terlalu malas untuk mencari makan pagi-pagi. Lagipula dengan begitu rasanya jadi lebih praktis.

“Seharusnya bilang padaku jika kamu akan berangkat lebih dulu, hampir saja aku mendobrak pintu kamarmu karena tidak ada yang merespon ketukanku.” Ava mengomel sambil menghampiri mejaku lalu mengambil kursi dengan posisi kami yang berseberangan.

Untung saja tidak banyak siswa yang sedang mampir ke sini. Aku tidak ingin menjadi tontonan pagi-pagi karena ucapan pedas dari teman baikku.

“Sebenarnya aku tidak masalah jika kamu benar-benar mendobraknya. Pada akhirnya Kamu sendiri yang akan diomeli mamamu,” ujarku setelah menelan nasi yang sempat berhenti kukunyah karena kedatangan Ava.

Kos yang kutempati adalah milik keluarga Ava, bangunannya berhadapan dengan rumah Ava dan hanya dipisahkan oleh jalanan komplek yang lebarnya bahkan hampir tidak bisa digunakan untuk dua mobil yang saling bersimpangan. Hal itu adalah salah satu sebab yang membuat kami jadi sering bersama-sama. Kedekatanku dengan Ava adalah kebetulan yang sangat kusyukuri.

Terhitung sekitar delapan bulan yang lalu aku pindah dari rumah Tante Erin yang tidak lain adalah waliku dalam hukum. Hubunganku dengan adik almarhum ayahku itu sangat canggung walau sudah tinggal bersama selama bertahun-tahun. Selepas lulus SMP, aku sengaja memilih SMA di luar kota agar bisa hidup sendiri dan bebas dari kecanggungan yang sangat melelahkan. Dengan alasan ingin belajar hidup mandiri, Tante Erin melepaskanku dengan senang hati.

Tampaknya ini memang keputusan yang terbaik dan membahagiakan bagi semua orang. Akhirnya aku memilih salah satu kos-kosan yang kutemukan melalui pencarian di internet. Harganya cukup murah dan dekat dengan SMA Cendekia, SMA yang sekarang menjadi tempatku bersekolah. Kebetulan anak pemilik kos-kosan ternyata seusia denganku, kebetulan juga kami sekolah di SMA yang sama dan ditempatkan pada satu kelas yang sama juga. Dia adalah Ava Nafiza, gadis yang sedang duduk satu meja denganku sekarang. Ava memiki sifat yang sangat ramah, peduli, penuh empati, dan baik hati. Gadis itu bahkan mau repot-repot mendekati anak penyendiri dan beraura muram sepertiaku.

Kami jadi sering bersama dan menjadi dekat seiring berjalannya waktu. Ava adalah teman pertama dan satu-satunya yang kumiliki. Walau sebenarnya Ava mempunyai banyak teman dan cukup populer di antara teman seangkatan kami, tetapi dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Dari dulu, baik ketika masih di bangku SD maupun SMP, aku tidak memiliki sosok yang benar-benar bisa disebut teman, semua hanya sebatas kenalan yang kebetulan dipertemukan dalam satu kepentingan yang sama bernama sekolah. Kehadiran Ava adalah hadiah Tuhan di antara segala lelucon kehidupan yang gemar sekali mencandaiku selama ini.

“Hai, Sa. Mamaku akan senang sekali jika kamu mau sarapan di rumahku. Kalau Kamu keberatan melakukannya setiap hari, setidaknya datanglah sesekali,” celetuk Ava tiba-tiba sambil memainkan ponselnya.

“Aku sudah banyak merepotkan keluargamu, loh. Jika aku memikirkan kebaikan kalian, aku selalu bingung bagaimana caraku membalasnya nanti,” timpalku jujur.

“Kenapa kamu selalu mengatakan hal-hal seperti itu, sih? Apa hanya aku yang menganggap bahwa kita berteman?” tukas Ava dengan nada tidak suka. Ah, sepertinya aku salah bicara.

“Bukan begitu, hanya saja aku masih belum terbiasa dengan sikap yang begitu ramah dari orang lain. Ini bukan berarti aku tidak menganggapmu sebagai teman,” ucapku tidak enak hati. Melihat ekspresi yang dibuat Ava sekarang, sepertinya aku sudah membuatnya tidak nyaman.

“Kamu ini, sesekali cobalah untuk tidak terlalu keras kepada diri sendiri. Kamu juga layak mendapatkan kebaikan dari orang lain, tau. Jangan selalu menganggap rendah kepada diri sendiri, Sa. Itu tidak baik,” tutur Ava dengan tatapan melunak dan senyum maklum.

Sudah kubilang, kan, bahwa kedakatanku dengan Ava adalah kebetulan yang sangat patut untuk kusyukuri.

“Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa mengatakan hal sebaik itu tentangku ketika aku sendiri tidak memiliki rasa percaya diri bahkan hanya sekedar untuk memikirkannya. Benar-benar gadis yang hebat,” gumamku sambil tersenyum kecil.

“Karena kamu menganggapku hebat, jadi percayalah dengan apa yang kukatakan tentangmu. Aku begini karena aku yakin bahwa kamu adalah orang yang baik,” sahut Ava yang ternyata mendengar ucapanku.

“Baiklah, aku akan berjuang semampuku untuk membuktikan ucapanmu,” ujarku untuk melegakannya.

“Whooooh, semangat,” goda Ava sambil mengacak poniku. Eh, tiba-tiba saja aku merinding. Tunggu sebentar! Perasaan apa ini? Dejavu?

Suara bel terdengar berdentang tiga kali tanda pelajaran akan dimulai. Semua siswa yang masih berada di luar, dengan segera berhamburan menuju kelas masing-masing sebelum tertangkap oleh pengurus Osis dan guru piket ketika masih keluyuran. Tidak terkecuali aku dan Ava yang ikut terbawa suasana karena semua orang terburu-buru. Namun ketika langkah kami sudah hampir meninggalkan kantin, tiba-tiba saja Ava berbalik seolah baru menyadari sesuatu. Gadis itu berjalan menuju meja di sudut ruangan. Aah, rupanya dia membangunkan seorang siswa yang masih tertidur di sana. Dasar ... anak yang baik.

Ava tampak mengangguk untuk pamit setelah mereka berbicara sedikit, mungkin mengucapkan terimakasih. Jika diingat lagi, sepertinya aku juga pernah beberapa kali melihat siswa itu tidur di tempat lain. Selain kantin mungkin perpustakaan dan kursi taman. Benar-benar bisa tidur di mana saja. Jangan-jangan dia jelmaan dari seekor kucing. Hehehe.

“Ayo,” ajak Ava sambil menarik tanganku untuk berlari.

Lihat selengkapnya