"Aku ingin seperti dirimu yang menjadi bulan. Tapi aku sadar kalau aku hanya bisa menjadi bintang dan menikmati keindahanmu dari jauh." Alfiani Fauziyyah
***
Alana mengamati monitor laptop Nita dengan seksama. Matanya bergerak-gerak membaca satu persatu tulisan yang berisi informasi penting tentang seseorang. "Scroll lagi Nit!" Perintah Alana.
Nita pun menuruti ucapan Alana dengan anggukan. Jarinya yang lentik terus menari-nari ria di atas keyboard laptop yang menyala. Alana terus mengamatinya, sampai akhirnya terlintaslah ide di dalam pikirannya.
"Aku punya ide," cetus Alana.
Nita menoleh dan memandang Alana seolah mengatakan apa.
"Kita minta bantuan Bobby dan Rendy," ucap Alana sembari tersenyum licik. Lalu dengan cepat ia mengambil handphonenya dan menekan beberapa angka di handphone pintarnya.
Nita hanya memperhatikan gerak-gerik Alana. Ia tau siapa Bobby tapi Rendy? Ia tak tau.
"Halo ... siap-siap kau pulang ke Indonesia, ajak Rendy sekalian," ucap Alana kepada suara di seberang sana.
"Oke," ucap Alana kemudian setelah mendengar jawaban dari seberang.
"Bagaimana?" Tanya Nita penasaran. Alana menoleh ke arah Nita setelah menutup panggilan teleponnya dan menaruh handphonenya di saku.
"Mereka akan datang, Bobby juga bilang mungkin sore ini dia sampai. Karena sekarang dia sedang menuju kesini," jawab Alana.
"Oooh, kalo Rendy itu siapa? Anak baru ya? Bagaimana, apakah dia tampan?"
Alana menepuk dahinya jengah, "tampan itu relatif." Alana merasa malas menjawabnya. "Lagi pula sebenarnya aku berteman dengan Rendy itu sudah lama, kita kenal di perguruan. Ya biasalah anak kesayangan guru, pastinya aku dan Rendy dapat perlakuan istimewa." Alana menyombongkan dirinya di depan Nita. Nita hanya bisa memanyunkan bibirnya, kala mengingat ilmu bela diri yang ia miliki berbeda sangat jauh dengan Alana. Namun meski begitu Nita tidak boleh merasa iri kepada Alana. Sebab berkat Alana lah ia bisa seperti sekarang ini. Dan tidak tidur di jalanan berdua dengan Bobby—sepupunya.
"Yee, sombong!" Kesal Nita, lalu pergi begitu saja. Sementara Alana menanggapinya dengan kekehan, Nita memang selalu seperti itu. Lalu kembali fokus pada data diri Axel yang tertera dalam layar monitor.
"Aku tau apa yang harus aku lakukan sekarang," gumam Alana.
***
Angin malam berhembus dingin, menerpa tubuh Alana yang hanya ditutupi oleh kaus putih tipis. Gadis itu duduk seorang diri, menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Meski sedikit dingin tapi ia tak mempermasalahkannya sedikit pun. Selain Alana suka dengan hujan Alana juga suka dengan angin. Yang meniup dan menghempaskan apapun. Rasanya sangat tenang menikmati udara malam yang dingin seorang diri.
Sedikit dingin, gelap tapi tidak menyeramkan. Bulan dan bintang juga turut hadir di sini. Menemani Alana yang hanya seorang diri. Sembari menyesap kopi hitamnya yang mendingin, Alana juga sesekali memandang langit malam yang indah karena bulan dan bintang.
Malam, adalah masa yang Alana tunggu-tunggu, untuk menikmati keindahan langit malam. Dulu ia merasa bahagia sekali kala melihat bulan dan bintang yang bertaburan. Tapi entah kenapa, rasanya saat ia telah tumbuh dewasa semuanya hambar. Tak ada lagi kegembiraan, tak ada lagi tawa riang sebagai pengisi malam yang sepi. Kali ini hanya menyisakan sebuah rasa kecewa, dan kesepian yang melanda.