"Kejahatan tidak akan pernah terjadi, jika ketidakadilan dan kekecewaan ada." Alfiani Fauziyyah
***
Axel melihat sebuah surat dengan materai yang tertempel beserta pulpen hitam disodorkan tepat di hadapannya. Perempuan itu tersenyum sinis, mengamati raut wajah Axel yang menahan amarah.
Perempuan ini, perempuan yang semalam ia jumpai, lalu mengapa dengan seenaknya perempuan ini malah menyuruhnya untuk bertandatangan di atas surat bermaterai. Padahal ia sendiri tidak tau untuk apa surat itu, karena sejak tadi perempuan di hadapannya tak memberi tau fungsi surat ini jika ia menandatanganinya.
"Siapa kau?" Axel mendongak, menatap perempuan itu dengan tatapan sengit.
Perempuan itu mengedikkan bahunya acuh, seraya tersenyum remeh. "Ayolah Tuan Axel yang terhormat, tolong tandatangani surat ini," bujuknya lalu sesaat kemudian ia tergelak.
"Hahahah ...."
"Kenapa kau tertawa?" Bentak Axel seraya menggebrak meja.
Perempuan itu menghentikan tawanya, "aku?" Tanyanya pada diri sendiri. "Mengapa aku tertawa?" Tanyanya lagi.
Perempuan dengan setelan kemeja kerja rapih itu duduk di atas meja di hadapan Axel. Seraya tersenyum sinis perempuan itu mengangkat dagu Axel agar tak terus menunduk. "Aku tertawa yaitu karena kebodohanmu, Tuan Axel ...." Ucapnya lalu kembali tertawa dan bangkit dari duduknya.
"Kebodohan ku? Apa maksudmu?" Tanya Axel.
Perempuan itu berhenti melangkah dan menolehkan kepalanya ke belakang menatap Axel. "Yap, kau itu bodoh." Lalu perempuan itu berjalan menuju jendela dan menatap jalan raya dari atas lantai tujuh.
"Apa yang kau anggap bodoh tentang ku, aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran licik mu itu!" Axel menunjuk perempuan itu dengan telunjuknya. Tatapan matanya benar-benar Axel tujukan pada perempuan di hadapannya. Ia benar-benar merasa dipermainkan di sini, setelah ia di suruh untuk datang pagi-pagi buta, dan ini yang ia dapatkan. Sungguh memuakkan.
"Pikiran licik kau bilang?" Perempuan itu bertanya pada Axel seraya berjalan mendekati Axel. Langkah kaki jenjangnya makin lama makin dekat dengan tubuh Axel. Suara ketukan sepatu perempuan itu terdengar dalam ruangan sunyi ini. Heels dua belas centi itulah penyebabnya.
Axel menatap perempuan itu jengah, namun sebagian dalam hatinya ada segelintir rasa takut pada perempuan di hadapannya.
Perempuan itu terus berjalan mendekati Axel, sampai akhirnya setelah berada di dekat Axel, lelaki itu mundur perlahan yang diikuti perempuan itu makin mendekat ke arahnya.
"Aku tidak licik, tapi aku hanya menginginkan keadilan!" Tekannya seraya menyilangkan kedua tangannya di dada. "Otakmu terlalu dangkal. Sehingga kau ...." Tunjuk perempuan itu tepat di dada bidang Axel. "Menganggap aku licik!"
Axel tersentak atas perkataan perempuan di hadapannya. Apa iya, ia terlalu bodoh? Pikirnya. "Kau melakukan semua ini hanya untuk keuntungan dirimu sendiri bukan?" Tanya Axel pelan.
Jarak antara keduanya semakin merapat, wajah antara keduanya menyiratkan emosi yang berbeda-beda. Hanya berjarak satu jengkal, jika tidak sudah menempel wajah keduanya.
Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya, "keuntungan kau bilang?" Tanyanya yang diangguki Axel. "Dasar lelaki bodoh, setelah kau tau apa tujuan ku, kau tentu akan sangat berterimakasih padaku, Tuan yang bodoh!" Setelah mengucapkan itu perempuan itu pun membalikkan tubuhnya.
"Oh ya?" Sesaat kemudian perempuan itu membalikkan tubuhnya kembali menghadap Axel. "Jika semua yang kau inginkan ingin terwujud, cepat tandatangani surat itu. Dan sebaliknya jika kau tidak menandatangani surat itu, maka lenyaplah sudah apa impianmu selama ini." Perempuan itu lalu kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan tanpa menoleh kembali ke arah Axel yang mematung bingung.