Black Pearl

Valencia Flavia
Chapter #2

Chapter 2 - Lantern Festival

Siang itu, Jeevika berdiri di tengah kamarnya dengan dikelilingi para pelayan pribadi yang tengah membantu Jeevika mengenakan ball gown birunya. Gaun berwarna biru laut itu dihiasi dengan permata zamrud hijau yang bertaburan dari pinggang hingga ujung bawahnya, sebuah ball gown mewah yang imbang dengan status Jeevika sebagai ratu.Tak lupa, para pelayan itu menata rambut Sang Ratu dengan kepangan fishtail dan mengenakan mahkota kristal es bertahtakan berlian biru pirus khas bangsawan Selkie.

Setelah selesai mendandani Sang Ratu, beberapa dari pelayan-pelayan pribadinya meninggalkan Jeevika di dalam kamarnya. Jeevika berjalan menuju jendela. Langkah kakinya yang anggun mengetuk-ngetuk lantai diikuti dengan jubah merahnya. Dari tingkat dua kediaman keluarga Neville, ia dapat melihat luasnya lautan biru. Matanya tersihir oleh keindahan lautan itu, sesaat pikirannya terjun jauh ke dalam lautan itu sampai seseorang mengetuk pintu kamarnya.

“Ratu Jeevika, ini saya Urie. Apa saya boleh masuk?” suara Urie terdengar dari balik pintu kamar Jeevika. Jeevika langsung berbalik untuk mendekati pintu tersebut dan membukanya. Di hadapannya berdiri pria berambut merah dan bermata emas. “Wah suatu kehormatan Ratu membukakan pintunya sendiri untuk hamba.” ujar Urie kembali sambil tersenyum.

“Masuklah,”Jeevika mempersilakan, “Tolong tinggalkan kami berdua,”sambungnya pada para pelayan, menyuruh semua pelayan yang tersisa keluar dari kamarnya dan mengundang pria itu masuk ke dalam kamarnya.

Para pelayan Jeevika segera meninggalkan kamarnya, Jeevika kembali berjalan menuju jendela diikuti oleh Urie di belakangnya. Urie dan Jeevika saat ini terdiam di dalam kamar berdua saja. Urie pun memulai pembicaraan  berusaha memecah keheningan tersebut, “Kenapa kau mengganti bajunya? Padahal baju tradisional Neville sangat cocok untukmu.”

“Jangan bercanda, Urie. Jika aku menggunakannya lebih lama lagi, semua orang akan mengetahuinya.” balas Jeevika dengan wajah sendu.

Melihat wanita di hadapannya terlihat sedih, Urie menghampiri dan memeluknya dari belakang. Tangannya ia kaitkan pada perut wanita itu dan kepalanya ia sandarkan pada pundaknya, “Aku mohon jangan berwajah seperti itu. Aku lebih suka Jeevika yang periang dan sembrono,” ujar Urie, “Tunggulah sedikit lagi, kita tidak bisa mengungkapnya dulu. Jika ini terungkap, bukan hanya kita yang akan celaka namun negara kita juga,” lanjutnya berusaha menenangkan wanita di pelukannya.

Jeevika menarik napas panjang berusaha menenangkan dirinya. Setelah sedikit tenang, Jeevika menggapai rambut merah Urie sambil menatap wajahnya yang berada sangat dekat dengannya. Jeevika mulai tersenyum kembali sambil membelai rambut merah itu, “Dasar mulut manis,” ujar Jeevika diikuti senyum gemas.

“AKH--!” Urie menggeram setelah rambutnya ditarik oleh Jeevika. “Aduh, Jeevika. Kau ini jahat sekali.” gerutu Urie sambil tersenyum dan melepas pelukannya pada Jeevika. Ia memegangi kepalanya yang sakit.

Jeevika berbalik dan melingkarkan tangannya pada leher Urie yang jauh lebih tinggi darinya. “Setidaknya ijinkan aku memberi tahu hal ini pada Anna. Bukannya kita sudah menganggapnya seperti adik sendiri?” ujar Jeevika kembali. 

“Tidak boleh, Ratu~” ujar Urie sambil tersenyum ramah.

“Cih..berhentilah menggunakan senyum politikmu itu padaku,” ujar Jeevika kesal.

“Maafkan aku. Tapi kau sendiri tahu seperti apa Marquis Geordo.” jawab Urie sambil memandang wajah Jeevika dengan tatapan sendu.

Sorot mata sendu dari bola mata emas itu membuat Jeevika terbawa sedih. Ia kemudian melepaskan kedua tangannya dari Urie dan berbalik untuk melihat laut sekali lagi, “Kadangkala aku berpikir memiliki gelar tinggi membuat segalanya lebih rumit. Aku harap Anna tidak sedih dengan keputusan ini.” ujar Jeevika.

“Aku yakin Anna adalah anak yang dewasa. Dia pasti mengerti dengan keputusan ini,” ujar Urie sambil mendekati Jeevika.

“Aku harap seperti itu,” Jeevika membalas dengan ragu.

“Oh ya, aku mendapat kabar kalau mereka sudah datang. Mungkin mereka akan ikut ke perayaan nanti malam,” ujar Urie kembali.

“Baguslah kalau begitu. Setidaknya kita bisa tenang sedikit. Mengandalkan prajuritku saja tidak akan membantu,” balas Jeevika.

---

Anna duduk terdiam di depan kaca riasnya sambil memandang pantulan dirinya dalam kaca. Wajahnya terlihat sangat kacau. Kata-kata Griffith dan ayahnya masih terngiang-ngiang di kupingnya. Anna memejamkan matanya berusaha berpikir dengan tenang. Mata coklatnya ia buka perlahan, ia menatap matanya yang terpantul pada cermin di hadapannya.

Semuanya masih belum jelas, ujarnya dalam hati sembari berusaha menenangkan hatinya. Ia tidak ingin membuat segalanya makin kacau. Mungkin memang benar Jeevika ingin menguasai tanah Neville, tetapi dia tidak bisa bersikap seenaknya di depan wanita itu. Urie sangat menyayangi Jeevika melebihi apapun. Miris rasanya, pikir Anna. Dalam hati kecilnya, ia tahu kalau Urie lebih memilih Jeevika dibandingkan dirinya. Walau begitu Anna tetap mencintai Urie dengan segenap hatinya. Ia ingin menjaga kesan baiknya di hadapan Urie. Maka dari itulah, bila malam ini ia bertemu Jeevika, Ia tidak boleh terprovokasi sekalipun wanita itu ingin membunuhnya.

Jika Griffith dan ayahnya benar sekalipun, Anna tidak bisa terbawa emosi dan melimpahkan segalanya pada Jeevika karena yang dipertaruhkan adalah wilayahnya. Satu langkah yang salah saja dapat mengakibatkan kekacauan dalam wilayahnya. Menuduh seenaknya tidak akan memberi jalan keluar baginya.

Anna menyingkirkan segala pikiran buruknya. Ia mengambil sisir kayu di hadapannya dan mulai menyisir rambut hitamnya. Ia berusaha menyibukkan diri dengan merias dirinya untuk perayaan nanti malam. 

“Mitilda? Apakah kau di luar?” teriak Anna pada pelayan pribadinya.

Tanpa menunggu lama, Mitilda, pelayan pribadinya memasuki kamar gadis berambut hitam itu, “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ujar Mitilda.

“Tolong bawakan tiaraku untuk perayaan nanti,” titah Anna.

Mitilda mengangguk dan segera melakukan tugasnya. Namun sebelum ia meninggalkan ruangan itu, Anna menghentikannya, “Tunggu,” Mitilda menghentikan langkah kakinya dan berbalik pada Anna. Anna melanjutkan kata-katanya, “Tolong bawakan juga kotak putihku.”

Mitilda terlihat sedikit kaget, namun perintah tuannya tentu saja tak boleh ia pertanyakan. Ia kembali berjalan meninggalkan kamar Anna untuk mengambil seluruh kebutuhan nona muda Anna.

Tak lama berselang, Mitilda kembali ke kamar Anna dengan segala barang yang diminta oleh tuannya itu. Seorang pelayan lain meletakkan tiara Anna di meja riasnya kemudian meninggalkan Anna dan Mitilda tinggal berdua di dalam kamar.

Pada tengah kotak kayu putih berornamen emas yang dipegang Mitilda itu terpasang  sebuah gembok emas yang kemudian dengan perlahan dibuka oleh Anna. Di dalam kotak putih tadi terdapat beberapa pucuk surat, sebuah belati dengan ornamen emas dan sebuah botol kaca hitam dengan permata ungu pada tutupnya. Anna mengambil belati tadi dan menyelipkan belati tersebut di kakinya yang tertutupi oleh dress panjangnya.

“Apakah ada sesuatu yang terjadi, Nona?” tanya Mitilda penasaran. Tidak biasanya Anna meminta kotak putih peninggalan ibunya yang telah meninggal 4 tahun yang lalu. Ia ditemukan tidak bernyawa di kamarnya dengan meninggalkan kotak putih itu untuk Anna. Botol kaca hitam di dalam kotak itu adalah botol kaca yang serupa dengan botol racun yang ditemukan bersama mayat ibundanya. Semua orang beranggapan botol itu ditenggak oleh sang Marchioness. Bersamaan dengan kematian ibunya, ia meninggalkan kotak berisi banyak surat untuk Anna serta botol tersebut. Belati yang berada pada kotak itu adalah belati kesayangan Marchioness Iris, ibu Anna. Iris sering sekali membawa belati itu apalagi ketika ia sedang pergi berburu ataupun pergi ke wilayah lain untuk menemani suaminya. Anna ingat betul kata-kata ibunya. Belati itu seperti jimat penyelamatnya dan ia selalu membawa belati itu untuk melindunginya. Jimat penyelamat itu saat ini memang sangat dibutuhkan Anna. Rasa gelisahnya tak kunjung hilang sejak tadi bertemu dengan ayahnya. Gadis bermata coklat itu meminta pelayannya membawakan kenangan ibunya ini untuk mengambil jimat itu. Karena bentuknya yang cukup kecil dan tipis, belati itu dapat ia sembunyikan di dalam gaun panjangnya. Ia ingin sebisa mungkin membawa alat pertahanan diri tanpa diketahui siapapun. 

Lihat selengkapnya