Black Pearl

Valencia Flavia
Chapter #3

Chapter 3 - My Perspective

Alunan lagu akapela yang bersahut-sahutan terdengar sangat merdu. Urie dengan seksama memperhatikan pujaan hatinya yang sedang tersenyum berseri-seri. Setelah menghadiri pesta jamuan sore, Jeevika mengganti ball gown panjangnya menjadi ball gown pendek berwarna ungu lilac. Ini adalah festival yang telah ia tunggu-tunggu sepanjang tahun. Biasanya setiap tahun mereka akan mengunjungi Neville untuk menghadiri festival ini. Namun setelah peperangan dengan Chimera mulai memanas, selama lima tahun terakhir mereka tidak memiliki kesempatan lagi untuk mendatangi festival Deity Jala. 

Setelah Putri pertama keluarga Neville menyenandungkan bait keempat, para wanita berjalan memasuki air untuk melepaskan lentera mereka. Urie melihat Jeevika yang mencuri pandang padanya. Ia tersenyum dan melambai pada Urie. Urie membalas wanita muda itu dengan senyuman. Walau ia sedikit khawatir karena harus membiarkan Jeevika masuk ke air sendiri, Urie tidak ingin menghalangi kebahagiaan wanita yang ia cintai itu. Jeevika di pandangannya adalah sesosok wanita yang kuat namun memiliki hati emas.

Ketika mereka bertemu saat umurnya menginjak 15 tahun, ia tidak menyangka akan jatuh cinta pada gadis muda yang sangat ceroboh itu. Kenangan saat pertama menjumpainya masih melekat di kepala Urie. Saat itu ia sedang membaca kisah awal mula terbentuknya Gaia di dalam salah satu lorong buku perpustakaan utama istana Eleanor. Tiba-tiba sesosok gadis kecil terjatuh dari rak buku teratas lorong itu bersama dengan buku-buku lainnya. Gadis itu jatuh tepat di perut Urie. 

“Maaf!” teriak Jeevika kecil setelah tertangkap basah oleh Guru Agung Eleanor. Setelah jatuh menimpa Urie, gadis kecil dengan rambut merah bergelombang itu tertangkap oleh Gurunya. Rupanya Jeevika tengah berusaha lari dari sang Guru. Ia mencoba memanjat rak buku yang terlihat cukup besar untuk ia lewati. Tak disangka-sangka rak buku itu tidak selebar kelihatannya dan perhitungan Jeevika meleset sehingga ia terjatuh ke lorong tempat Urie berada.

“Mohon maaf tuan muda Urie atas kekacauannya.” ujar Guru Agung Eleanor dengan rasa penyesalan. “Dan Anda Nona Jeevika! Sudah berapa kali saya katakan untuk tidak kabur dari kelas!” sambung sang Guru pada Jeevika, “Saya tahu betul anda sangat bosan karena pelajaran tingkat satu medis sudah anda kuasai. Namun Anda harus tetap menjalankan prosedur dan tetap mengikuti kelas agar anda dapat naik ke tingkat kedua.” omel sang Guru.

Jeevika cemberut dan terlihat kesal dengan omelan gurunya itu. Bagaimana tidak bosan, pikirnya. Ia telah menguasai buku medis sampai tingkat empat dan telah membaca buku medis tingkat 1 sebanyak 5 kali saat usianya 11 tahun. Sekarang ia harus mengikutinya kembali? Jangan bercanda! Bahkan isi dari buku medis tingkat satu telah ia hafal di luar kepalanya. Jeevika diundang sebagai murid oleh kerajaan Eleanor karena kejeniusannya di bidang paramedis. Sejak usianya 11 tahun ia telah membantu wilayahnya sendiri dalam hal paramedis sehingga wilayah Selkie terkenal akan paramedisnya yang handal selama 4 tahun belakangan ini. Kejeniusannya membuat tetua Eleanor tertarik dan berharap Jeevika dapat melanjutkan pendidikannya serta membantu Eleanor dalam bidang medis. Namun karena latar belakang pendidikan Jeevika yang otodidak membuat banyak guru besar kerajaan tidak setuju untuk mengangkatnya langsung menjadi doktor muda. Karena itulah jalan terbaik adalah untuk membuktikan dirinya dengan menyelesaikan pendidikan dasar medisnya.

“Saya mohon diri, tuan muda Urie. Maaf telah merepotkan anda,” ujar Guru Agung Eleanor sambil menyeret Jeevika pergi.

Urie tersenyum sambil melihat gadis kecil itu diseret menjauh. Rasakan akibatnya, ujar Urie dalam hatinya. Setelah membuat perutnya sakit bukan kepalang, hal itu pantas kau dapatkan. Puas menertawai Jeevika, Urie berbalik mengambil bukunya kembali namun pandangannya terhalang oleh sosok tinggi besar di hadapannya. “Ayah….” ujar Urie sedikit takut.

Sosok Duke Isao yang tinggi besar terlihat berdiri tegap di hadapannya. Kharismanya yang kuat terpancar dari tatapan mata sang duke. Duke Isao adalah salah satu letnan perang kerajaan Eleanor yang sangat ditakuti. Pasalnya ia telah menaklukkan Chimera tingkat 4 di beberapa wilayah Gaia. Chimera adalah mutasi hewan dan tumbuhan yang telah dirasuki oleh kekuatan jahat dewa dan dewi Gaia. Konon mutasi ini dimulai karena murkanya pada dewa dan dewi. Kekuatan Chimera tingkat 4 setara dengan 100 prajurit perang terbaik Eleanor dan Duke Isao telah menaklukkannya sendiri berkali-kali. Kebanggannya sebagai seorang Letnan terbaik tentu saja ingin ia wariskan pada putra semata wayangnya yaitu Urie.

Namun dibandingkan berlatih pedang, Urie lebih suka belajar filosofi dan sejarah. Hal itu membuat sang ayah sangat kecewa.

“Aku sudah katakan ketika aku membawamu ke Kerajaan Eleanor, kau harus belajar lebih banyak dari para prajurit bagaimana cara untuk bertarung di medan perang. Bukannya bermain-main dengan sekumpulan kertas,” ujar Duke Isao. Isao percaya dengan pengalaman dan berlatih akan membantu anaknya dalam menguasai medan perang. Sedangkan Urie percaya dengan memperbanyak ilmu dapat membantunya dalam menguasai medan perang dan taktik perang dengan lebih baik. Namun rasa takutnya pada sang Ayah lebih besar sehingga ia tidak berani mengutarakan pendapatnya. Dari kecil, Urie adalah anak yang penurut. Sangat jarang ia membantah perkataan sang Ayah, terlebih lagi karena sifat Ayahnya yang keras dan tak segan untuk menghukumnya.

Namun rasa penasaran Urie pada buku-buku kerajaan Eleanor sangat besar sehingga mendorongnya untuk menyelinap ketika sang ayah sedang mengikuti rapat. Tak disangka Ayahnya kembali lebih cepat dan menemukannya di sana.

“Maafkan aku…” sesal Urie.

“Ambil pedangmu dan ikut ke arena bertarung,” titah Isao

Wajah Urie memucat seketika setelah mendengar kata-kata ayahnya, “Ayah, bukan maksudku untuk melanggar titah ayah. Aku hanya ingin membaca sedikit agar..”

“DIAM!” bentak Isao. Isao menatap dingin pada Urie, “Cepat bawa pedangmu.”

Urie buru-buru mengambil pedangnya dan mengikuti sang Ayah. Habis sudah, pikirnya. Membawa Urie ke area bertarung setelah ia ketahuan membaca di perpustakaan bukanlah hal baik. Ayahnya bukanlah seorang yang cerewet seperti orang tua lain. Bila Urie tidak mendengarkannya, maka ia akan memperingatkannya bukan dengan ocehan namun dengan tindakan. Area bertarung hari ini pasti akan jadi sangat berat untuknya. Kemarahan Ayahnya tentu akan membuatnya dalam masalah besar.

----

Badan kecil Urie tergeletak di tengah area bertarung. Hari semakin sore namun badannya terasa sangat berat untuk berdiri. Sesuai dengan perkiraannya, hari ini sang Ayah menyerangnya dengan lebih gesit daripada saat latihan biasanya. Tentu saja amarahnya ia keluarkan saat bertarung tadi. Untung saja ia hanya menggunakan pedang kayu. Jika tidak habislah sudah, pikir Urie. Walau hanya pedang kayu, namun badan Urie terasa sangat sakit. Lebam di badannya seolah melarangnya untuk berdiri. Area bertarung pun sudah sepi dari prajurit. Seluruh prajurit dibubarkan oleh sang Ayah dan tidak ada seorang pelayan dari Shohei yang boleh membantu Urie. Itu adalah salah satu hukuman yang didapatkan Urie karena tidak mendengarkan perkataan sang ayah.

“Apa kau baik-baik saja?” Tanya seorang gadis yang tiba-tiba menghalangi pemandangan langit yang sedang Urie lihat.

Rambut gadis itu berwarna merah dan bergelombang. AH! Anak yang tadi di perpustakaan! pikirnya kesal. Kenapa anak ini datang kembali ke sini setelah membuatnya tertangkap oleh sang ayah.

Namun tanpa rasa malu, gadis itu duduk di samping Urie, “Apakah sakit?” tanyanya pada Urie.

OH yang benar saja gadis sialan! Umpat Urie dalam hatinya. Apa menurutmu aku baik-baik saja setelah melihat lebam di sekujur tubuhku ini? Namun Urie berusaha membuat wajahnya tidak terlihat kesal. Karena menjaga karisma dan martabat adalah hal utama yang diajarkan ayahnya, “Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya.” ujarnya sopan.

Jeevika melirik pada wajah Urie, “Hei, di tempat ini hanya ada kau dan aku. Kau tidak perlu menutupi apapun. Aku tahu kalau kau ingin sekali membentakku kan? Bentak saja dan keluarkan segala rasa kesalmu itu. Aku pantas medapatkannya setelah membuatmu dalam masalah.” ujar Jeevika kembali.

Urie terkejut dengan jawaban Jeevika. Selama ini jawaban basa-basi seperti yang ia lontarkan biasanya sangat dinantikan lawan bicaranya. Mereka merasa lebih baik dan langsung melepas tanggung jawab setelah mendengar kata ‘aku baik-baik saja.’ Urie sudah sering bertemu banyak orang seperti itu di sekitar ayahnya dan kadang kala membuat masalah untuknya.

“Hei, apakah kau tidak lelah terus-menerus berakting baik?” ujar Jeevika kembali. “Apakah itu hobimu?” desak gadis itu.

Tentu saja bukan, gadis pengacau! Omel Urie dalam hati. Sangking kesalnya Urie tidak dapat menahan perubahan wajahnya.

“Oh! OH! Akhirnya aku melihat ekspresi lain dari wajahmu! Ternyata kau punya ekspresi lain! Hebat!” ujar Jeevika bangga seakan ia telah mendapatkan harta karun besar.

“Hei! Aku bukan makhluk langka yang tidak memiliki ekspresi! Enak saja kau berkata seperti itu!” teriak Urie kesal. Akhirnya ia tak dapat menahan emosinya lagi. Sungguh menyebalkan gadis pengacau ini.

“Ya! Bagus. Teriaki aku sampai kau puas! Ayo keluarkan makianmu!” ujar Jeevika menyemangati Urie yang baru saja meneriakinya.

Urie kaget untuk kedua kalinya. Dasar sinting, pikirnya. Apakah anak ini sudah kehilangan akalnya ketika terjatuh tadi? Urie berusaha mengangkat tubuhnya dan duduk menatap gadis di sampingnya.

“Keinginanmu sangat besar untuk kumaki ya?!” ujar Urie.

Namun bukannya wajah ketakutan yang ia lihat dari gadis itu, Jeevika justru memasang wajah gembira seakan menemukan satu lagi harta karun. Urie kembali terkejut dengan ekspresi gadis itu, “Kau pasti gila kan?” tanya Urie spontan.

Jeevika tertawa, “Hahaha! Semua orang bilang begitu. Mungkin aku memang gila.” ujarnya kembali.

Yaa….Aku bisa melihat kenapa orang lain mengatakan kau gila, ujar Urie dalam hati kecilnya.

“Tapi lebih baik seperti ini kan? Daripada hanya memendam perasaan dan berpura-pura?” ujar Jeevika sambil tersenyum manis.

Senyumnya terlihat lepas dan sinar matahari sore membuat wajah Jeevika terlihat kemerahan. Karena jaraknya yang mendekat, Urie baru menyadari akan paras elok dari lawan bicaranya dan wajahnya tiba-tiba memanas. Takut wajahnya terlihat, Urie langsung memalingkannya.

“Wah! Apakah kau terpesona denganku?” tanya Jeevika polos.

Wajah Urie makin memanas, “Hei! Apakah kau tidak bisa sedikit saja mengontrol kata-katamu?” protes Urie.

“Apa kau malu?” tanya Jeevika sekali lagi.

Buru-buru Urie menutup mulut Jeevika dengan tangannya, “Hentikan! Apakah kau tidak bisa berhenti terus terang seperti itu?”

Jeevika menggeleng dengan cepat untuk membalas perkataan Urie “Apakah kau tidak malu mengatakannya?” tanya Urie kembali dan Jeevika kembali menggeleng tanpa jeda. Anak ini…polos atau bodoh, pikir Urie. “Hei.. kau tidak memikirkan baik-baik pertanyaanku ya? Cepat sekali kau menjawab…” Ujar Urie lalu melepas mulut Jeevika.

“Hehe..” tawa Jeevika seakan membenarkan pertanyaan terakhir Urie. Pemuda bermata kuning itu pasrah dengan jawaban lawan bicaranya.

“Enak sekali ya jadi dirimu. Dengan mudahnya terus terang seperti itu,” ujar Urie kembali.

“Kau juga bisa,” ujar Jeevika meyakinkan.

“Kau menjawab tanpa berpikir lagi kan?” tanya Urie setelah mendengar jawaban bodoh lawan bicaranya. Mana mungkin dia dengan statusnya berbicara terus terang dan seenaknya begitu pikirnya.

“Kali ini aku berpikir!” ujar Jeevika sambil menggembungkan pipinya. Ia terlihat sedikit tersinggung dengan jawaban Urie.

Mendengar jawaban polos Jeevika, Urie tertawa lepas. Bagaimana seorang gadis kecil yang tadi baru saja membuat kekacauan besar bisa terlihat polos dan lucu seperti ini.

“Apa kau pikir dengan statusku, aku bisa seenaknya saja bicara? Kau ini bodoh atau polos?” ejek Urie pada Jeevika.

“Lalu apakah dengan tidak mengutarakan pendapatmu sama sekali membuat orang di sekitarmu mengerti keadaanmu?” balas Jeevika.

Anak tunggal keluarga Shohei itu terkejut dengan pertanyaan Jeevika. Ia tidak bisa membalas perkataannya karena hal itu benar apa adanya. Jika ia tidak mengungkapkannya, tidak ada seorangpun yang akan mengerti apa yang ia inginkan.

“Kau membaca banyak buku di perpustakaan agar mengerti teknik dan taktik perang yang baik, bukan? Menguasai medan perang tidak hanya dengan melatih fisik dan refleks bertarung. Namun juga dengan menggunakan otakmu. Itu bukan yang kau harapkan?” tanya Jeevika kembali.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Urie penasaran.

“Hmm… Selama aku tinggal di kerajaan Eleanor, tidak ada satu pun orang yang mengambil buku taktik perang wilayah Vayu karena setahuku taktik itu sulit dimengerti. Selain orang yang mengerti betul bagaimana cara bertarung dengan otaknya, tidak ada seorang pun yang mencari buku itu, bahkan prajurit dan letnan tersohor pun tidak. Tapi kau sudah 3 kali membacanya dan membuat catatan dari buku itu,” jawab Jeevika.

“Sebentar. Bagaimana kau tahu kalau aku telah membacanya 3 kali? Apakah kau ini penguntit?” tanya Urie dengan wajah jijik pada Jeevika.

Jeevika pun kesal dengan jawaban Urie, “HEI! Aku mungkin agak gila. Tapi aku bukan orang aneh yang memiliki hobi menguntit seorang pemuda yang sering dihajar oleh ayahnya.”

“Betulkah?” jawab Urie curiga setelah Jeevika mengatakan sering dihajar oleh ayahnya. Ini terasa sangat salah. Bagaimana gadis itu dapat mengetahui segala kebiasaannya.

“Itu rahasia UMUM, OK? Jangan menatapku jijik seperti itu!” protes Jeevika.

Urie tertawa kembali setelah menyadari bahwa dirinya yang sering babak belur oleh ayahnya itu adalah rahasia umum yang hampir semua kerajaan mengetahuinya. ‘Tuan Muda keluarga Shohei yang lemah dan memalukan,’ bisik orang-orang di belakangnya. Ya itulah yang sering ia dengar. Wajah Urie tersenyum perih setiap mengingat hal itu.

“Tapi aku iri padamu karena memiliki ayah yang hebat seperti itu.” ujar Jeevika pada Urie.

“Iri?” seringai pemuda itu.

“Ayahmu tidak seburuk itu. Setidaknya aku dapat melihat di matanya kalau dia ingin kau melawannya dengan lebih keras. Aku bisa melihat dia ingin kau berkembang,” ujar Jeevika.

Jika dipikirkan kembali benar apa kata Jeevika. Ayahnya memang terlihat kejam, namun ia selalu mendorong Urie dalam setiap pertarungan. Ia selalu terlihat senang ketika Urie dapat menyerang balik padanya.

“Hei, apakah kau tahu? Walau besar dan kuat, bagian ulu hati manusia itu sangatlah rentan. Bila kau pukul dengan keras bagian itu, manusia sebesar apapun dapat merasakan efeknya,” ujar Jeevika kembali.

“Apakah kau sedang membantuku melawan ayahku?” tanya Urie.

“Ya… Anggap saja untuk membalas dosaku tadi siang,” balas Jeevika.

Keduanya tertawa lepas setelah mengingat kejadian tadi siang di perpustakaan.

“Oh ya. Mungkin kau sudah tahu, tapi perkenalkan namaku Shohei Urie, anak tunggal dari Duke Isao,” ujar Urie memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya.

Jeevika menerima tangan Urie. “Jeevika.. Jeevika Selkie. Cucu pertama Duke Murray Selkie. Mungkin kau sekarang mengerti kenapa aku iri padamu.” 

Duke Murray Selkie adalah pimpinan wilayah Selkie yang terkenal haus akan kekuasaan. Sedangkan anak laki-laki satu-satunya yang merupakan ayah Jeevika adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki ambisi karena hidupnya yang mudah membuatnya menjadi seorang pemabuk yang suka berpesta.

“Sepertinya kita lahir dari dua keluarga yang sangat terkenal ya,” ujar Jeevika sambil membuat tanda kutip dengan kedua tangannya. Keduanya terkekeh menyadari fakta tersebut.

“Karena sekarang sepertinya kita sudah berteman, bolehkan aku memberi satu saran padamu?” tanya Jeevika.

Lihat selengkapnya