Aku tak mengerti, kenapa Ayah bisa berada di tempat seperti ini. Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa sebenarnya yang terjadi hari ini. Semuanya terasa begitu cepat dan penuh tanda tanya.
Ayah mulai berjalan menuju pintu, diikuti pria gondrong yang menggendong gadis kecil yang berusaha menggeliat melawan.
Tersadar akan situasiku yang masih terikat, aku berusaha memanggil Ayah, tetapi tidak ada kata yang keluar, hanya sebuah erangan kecil yang tak jelas terdengar.
"Emmhh ...!" Aku semakin memberontak dan berusaha melawan kain yang menyumpal mulutku dengan melepaskan suara sekuat yang kubisa.
"DIAM!" Bentakan keras terlontar dari mulut pria gondrong itu. Membuat semua anak yang berada di ruangan ini ketakutan. Namun, tidak denganku. Rasa takut itu kulawan, demi mendapat perhatian dari Ayah yang mungkin bisa menolongku dan anak-anak di sini. Ayah adalah pahlawanku.
Aku terus menggeliat dan meracau, entah apa yang orang-orang dengar dari mulutku. Aku terus memanggil Ayah.
"Kau, diamlah!" Kembali bentakan kasar itu menghunjam, bahkan sekarang sepatu hitamnya menghantam tubuhku. Rasanya menyakitkan. Namun, tak apa, setidaknya ini membuahkan hasil. Tangan Ayah terhenti di kenop pintu, lantas tubuhnya berbalik.
"Alex, sabarlah. Mereka masih anak-anak," ucapnya kemudian.
Ya, itu ayahku. Sosok penyayang itulah yang kukenal.
Ayah, kumohon tolong aku!
Ayah mendekat, lantas mendekatkan wajahnya tanpa menatapku. Aku sedikit merinding, ia seolah berubah menjadi sosok asing.
"Diamlah, setelah ini giliran ... Ra-Ray?" Pria bersnelli itu terbata kala melihat wajahku. Tatapannya seolah tak percaya. Lantas dengan gesit segera membuka sumpalan mulutku dan membuka ikatan di tangan dan kakiku.