Jleb!
Apakah aku berhasil?
Perlahan aku membuka mata, tetapi seseorang yang tersungkur di sana bukanlah orang yang aku harapkan.
Aku terdiam kaku, melihat tanganku telah berlumuran darah. Kembali mataku tertuju pada pria yang meringis di lantai, pisau masih menancap di perutnya. Lantas aku menatap pria gempal yang terkekeh di belakang sana.
Kenapa ... Ayah?
Ya, orang yang terkapar dengan darah yang mengalir itu adalah Ayah. Sejenak, otakku tak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.
Kekehan menyebalkan itu membuatku geram. Mulutku tak henti malafalkan kalimat dengan pelan.
"Kenapa? Kenapa jadi seperti ini?" Ucapan itu terus kuulang sambil memandang Ayah yang meringis kesakitan.
Tubuhku seketika tak mengenal situasi, begitu saja bergerak sendiri. Mencengkeram kerah baju Ayah, dan berteriak marah di depan wajahnya.
"Kenapa Ayah melakukan itu? Pria tua itu hampir membunuh kita!" Ini bukan diriku yang sebelumnya, ini adalah diriku yang berkabut emosi.
Hening sejenak, sesaat sebelum gema tepuk tangan terdengar.
"Hebat, sungguh hebat! Kau memang tangan kananku yang paling setia, hahaha!"
Orang-orang di dalam ruangan terbahak, menertawakan tindakanku. Sedangkan Ayah hanya diam membisu dengan tatapan sayu.
"Jawablah!" Tanganku bergetar, masih tetap memegang kerah baju Ayah. Air mataku menetes, perlahan cengkeramanku melemah.
"Kamu pangeranku, takkan kubiarkan kau mengotori tanganmu untuk para bajingan itu." Ayah menarik pisau dari perutnya perlahan, membuang sembarang benda mengilat itu, lantas memelukku, membuat emosiku reda seketika.
"Tapi kenapa Ayah harus melakukan ini?" tanyaku dengan isakan pelan.