Ayah masih berkutat dengan pintu, sedangkan pria itu semakin mendekat.
Tuhan, tolong kami!
Panik, harapan kami pudar. Aku sudah putus asa, apalagi melihat kondisi Ayah yang mengenaskan.
"Ayah, menyerah saja," ucapku dengan sangat pelan, sambil menundukkan pandangan.
"Omong kosong, Ray! Kita akan selamat, jangan menyerah!" Mataku membulat, kupikir Ayah tak mendengarnya.
"Teruslah seperti itu, aku suka wajah dengan keputusasaan! Hahaha!" Gema tawa kembali terdengar, pria gempal itu berhenti dengan jarak sekitar satu meter dari kami.
Ayah masih terus berusaha menggesekkan kartu, mulutnya sibuk melafalkan kata-kata. Ia sudah putus asa.
"Ayolah, ayolah, ayolah! Tuhan, tolong selamatkan hambamu," ucapnya, terus berulang-ulang.
Aku memegang snelli yang didominasi warna merah gelap, melihat pintu besar dengan serius.
Andai ada sebuah keajaiban.
Ceklek!
Pintu berhasil terbuka, keajaiban kini menghampiri. Secercah harapan kembali mengisi ruang kosong di tubuhku dan Ayah. Seperti ada energi baru yang mengisi tubuh tak berdaya kami. Rasa sakit kini berganti dengan rasa bahagia yang tak kentara.
Ayah segera menggendongku, dan berlari ke luar ruangan. Tak jauh dari pintu, dapat kulihat Om Alex melambaikan tangan dan menggerakan mulutnya tanpa suara. Aku bisa membaca gerakan bibirnya yang mengatakan 'pergilah'. Aku balas tersenyum.
Om Alex berlari menjauh sebelum orang-orang dalam ruangan itu mengetahui pahlawanku.
Beberapa detik kemudian, orang-orang keluar dari ruangan, mulai mengejar.