Jarum jam terus berdetak, sementara gadis itu masih terdiam.
Hampir tiga jam lamanya Amanda duduk di ruang interogasi. Selama itu pula tak sepatah kata terucap darinya. Pun gerakan berarti. Kepalanya tertunduk, sedang mata terus mengawasi kedua tangan di meja.
Di hadapannya, seorang pria mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jas. Satu batang dinyalakan dengan pemantik gas. Usai menghisap pangkal gulungan tembakau, dia bersandar. Kepulan asap yang keluar dari mulutnya menari-nari di udara sesaat kemudian.
"Diammu akan mempersulit proses hukum. Lebih baik, akui kejahatan itu. Jangan khawatir! Aku akan membantumu meringankan hukuman," bujuk pria itu, yang mengaku sebagai pengacara, sambil membenahi letak kacamatanya.
Sudah berulang kali Amanda mendengar perkataan yang sama, baik dari pengacara maupun jaksa. Namun, baginya, pengurangan hukuman bukanlah solusi sebab Amanda yakin, dirinya tak bersalah.
***
Sore itu, Amanda berlari kencang menerobos semak belukar hingga bersua dengan padang ilalang. Di sana, dia berhenti untuk mengatur napas dan menepis dedaunan yang tersangkut di rambut. Lelah, tetapi dia tak bisa berhenti. Amanda memandangi rumput yang tingginya melampaui puncak kepala. Dia harus lewati itu agar bisa selamat.
Ketika hendak kembali melangkah, barulah dia sadari seberapa tersiksanya telapak kaki. Sebab tak mengenakan alas kaki, bagian tubuh paling bawah itu tergores dan tertusuk oleh apa pun yang dia pijak tadi. Serasa dirajam batu karang. Perihnya keterlaluan.
"Amanda!" Samar dia tangkap suara lelaki itu. Seseorang yang seharusnya mengayomi malah jadi petaka kini.
Amanda melanjutkan perjalanan. Langkah gadis dua belas tahun itu tak secepat sebelumnya. Dia tertatih-tatih. Gurat wajahnya menggambarkan seberapa kuat dia menahan sakit. Dia remas paha kanan seakan-akan memaksa agar bergerak lebih cepat.
"Amanda!"
Suara panggilan terdengar semakin jelas. Amanda menoleh ke belakang dan menyesal telah melakukan itu. Detak jantung Amanda melebihi batas normal. Jarak antara dirinya dan Dereck terpangkas cukup banyak.
"Amanda, stop! Please, stop! Ow, damn it! Jika kamu terus berlari, aku akan membunuhmu!" ancam Dereck sembari menarik belati yang setia di pinggangnya. Dia tebas rumput tinggi yang terlewati. Matanya nyalang memandang sekitar.
Hari hampir gelap. Malam akan menyulitkan pencarian. Pun pelarian.
Merasa tak sanggup lagi berlari, Amanda jongkok di tengah padang. Kedua tangannya menempel di dada. Dia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia berharap degup jantungnya kembali normal. Juga pernapasan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.