"Fir, Bu Fira. Woy," Pak Arfan menepuk-nepuk bahuku. Sudah hampir 15 menit aku melamun. Pak Arfan masih setia berada di sebelahku. Padahal beliau ada jam mengajar di jam pertama ini.
"Firaa, woy, Bu Firaa..." dengan setengah berteriak di dekat telingaku. Aku hampir terlonjak dibuatnya.
"Eh, iya, Pak. Ada apa?" Tanyaku polos. Aku tak sadar sedang berhalusinasi di depan umum.
"Ah, kamu, Fir. Sok tanya ada apa, lagi. Kamu itu ngelamun dari tadi, tauk. Aku khawatir kamu kemasukan atau gimana-gimana," jawabnya polos, wajahnya memelas, lucu.
"Cie, khawatir, ha-ha," godaku, gemas.
"Apa sih, Fir. Kamu, kan guru baru. Ntar kalau kamu kenapa-kenapa, terus pas lagi sama aku, ntar aku yang disidang guru BK gimana, kamu nggak kasian sama aku?" katanya panjang lebar, dibumbui senyumnya yang absurd. Aku tahu dia cuma menggodaku. Aku tak tertarik.
"Ha-ha...." Kami menertawakan diri kami sendiri, di tengah-tengah kesunyian selasar sekolah.
"Permisi, Pak Arfan yang gantengnya level 1001. Maaf mengganggu waktu Anda bersama guru baru kecentilan ini. Kalau tidak salah, Pak Arfan ada jam di kelas saya, kan. Bisa ke kelas sekarang, Pak? Pada nungguin dari tadi, loh." Seorang siswi ber-make up mentereng, menghampiri tempatku dan Pak Arfan duduk. Lebih mirip ondel-ondel daripada seorang murid sih, pakaiannya amat ketat. Sesak napas mungkin kalau aku yang pakai.
"Apa kamu bilang! Ini Bu Fira, guru kamu juga, loh. Gak sopan. Cepat minta maaf. Baru jadi murid main nyelonong aja. Merendahkan guru sendiri, mau jadi apa kamu." Cerocos Pak Arfan, menyeramahi siswi tersebut. Dia hanya menunduk, entah menahan malu atau justru emosi terkena ocehan guru favorit semua orang.
"Udah, Pak. Nggak apa-apa," kutengahi ceramahan Pak Arfan, daripada dilanjutkan malah bakal melebar ke mana-mana.
Siswi itu langsung meninggalkan tempatnya. Berputar haluan, menjauhi tempatku.
"Awas, kau guru baru," kata-kata terakhirnya sebelum benar-benar menghilang dari tempatku.
*
Hidup adalah sekumpulan perjalanan. Tersusun dari beragam cerita-cerita pendek. Terkadang menjadi si antagonis, kadang protagonis, kadang tokoh utama, bisa juga cuma figuran. Nikmatilah setiap langkah hidupmu!
Kulihat arloji di tanganku, sudah terlalu siang menjadi alasanku meninggalkan Pak Arfan. Tanpa panjang lebar beliau paham, kutinggalkan beliau menuju kelas pastinya. Di depan pintu sebelum benar-benar kututup sepenuhnya Pak Arfan masih di tempat semula, tak berkutik sedikit pun.
Nunggu apa beliau, sih. Batinku sambil merapatkan pintu.
Hari pertama yang beragam. Pengalaman yang bisa jadi tak terulang; salah kelas, digosipin murid sendiri, disindir di depan mata, dan Pak Arfan. Kombinasi yang agak jomplang, banyak pahitnya. Semoga bisa menjadi pendewasaan diriku.