Black Turtle

Puji Utami
Chapter #5

Kurang Satu, Dia

Selain mengantarkan sang surya ke peraduan, senja sore ini juga mengantarku pada akhir penantian. Sebelum benar-benar menghilang pergi, senja sempat menitip salam untuknya; menitipkan segenap harapan agar bahagianya selalu ada dalam doa.

Kini, semesta turut mendukungku. Melepas segala angan, mengikhlas setiap ingin. Membujukku senantiasa berpikir realistis, merendahkan ego, membunuh delusi tak berdasar. Sebab, hanya cakap itu tak cukup. Sekadar harap tanpa hadap, membicarakan singgah yang tak benar-benar sungguh.

Sekelebat kisah masa lalu kian mengusik ketenanganku, doa-doa yang selalu kupanjatkan untuk seseorang di masa silam tersebut semakin tajam kurapal. Apakah semesta turut berkonspirasi, menggoyahkan pertahananku selama ini? Pikiran itu terus terbayang dalam kepalaku, hilir mudik membayangkan segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Pertengahan April, tujuh tahun yang lalu.

Lagi-lagi Rabu, tak pernah absen kisah absurd menghampiriku. Selalu ada pelajaran Sejarah yang tak ada sejarahnya bisa kosong. Pelajaran seperti mendongeng itu memang membosankan, tak hanya dalam kisah-kisah fiktif para top author dalam novel-novelnya, Pelajaran Sejarah benar-benar membuat seantero kelas kompak menjalankan aksinya, tidur. Sempat kuberpikir, apa perlu kudatangkan ahli time traveller agar bisa menjelajah masa lalu? Seperti kebanyakan kisah perjalanan waktu, yang awalnya tak suka Sejarah, malah jadi paling minat terhadap Sejarah.

Tak lain dan tak bukan, seseorang di depanku itu adalah Pak Dave, Mahesa Davin Apriansyah lengkapnya, katanya, sih, lebih sering dipanggil Dave daripada Davin. Tak ada kesan yang tertinggal dalam hati saat pertama melihatnya, lebih tepatnya biasa saja.

Seorang lelaki kelahiran tahun 90an itu sering terlihat kurang tidur setiap masuk kelas. Mata pandanya terlihat setiap kali kacamata yang dipakainya melorot. Kudengarkan, kuperhatikan setiap kata dan gerak-geriknya. Bukan maksud apa-apa, aku memang suka mengamati orang-orang baru, seorang guru sekalipun. Adaptasi. Agar mudah beradaptasi, prinsipku pahami setiap orang, emosinya, ucapannya, juga gerak-geriknya.

Merasa selalu kuperhatikan, beliau berhenti di sebelah mejaku. Memang, sepertinya hanya aku yang masih setia mendengar setiap dongengnya itu, yang lain? Sudah nyenyak bertualang di alam lain.

"Ada banyak teori yang menjelaskan tentang kejadian alam semesta ini, dan yang paling terkenal? Ada yang tahu?" Pak Dave menyapu pandang, dan jlep, kedua alisnya naik-turun melihatku.

"Em, anu, Big Bang, Pak." Kataku gugup. Terlihat beberapa siswa mulai sadar, dan terbangun dari mimpi mereka.

"Yaa, siapa nama kamu? Tepat sekali." Katanya sambil tersenyum. Baru kali ini aku merasa senyumnya yang benar-benar untukku, biasanya disenyumi malah menatapku sinis.

Sejak saat itu, setiap Pelajaran Sejarah beliau nge-team di sebelah mejaku. Aku yang srlalu ditanya ini-itu, disuruh begini-begitu, dan akhirnya? Teman-teman sekelas mengejekku yang tidak-tidak.

"Sejarah itu memang membosankan, bagi sebagian orang," katanya.

"Memang, kita harus melihat ke depan, jangan berlarut-larut dengan masa lalu. Tapi, sebagaimana kendaraan, kita memerlukan spion agar bisa tahu di belakang, agar lebih selamat. Begitu juga sejarah, agar kita tidak salah melangkah, alangkah lebih baiknya kita mempelajari sejarah, agar lebih selamat. Setuju?" Lanjutnya sebagai pungkasan di mata pelajaran Sejarah kali ini.

Selalu ada quote, atau kisah motivasi di setiap akhir pembelajarannya, itulah yang menjadi pembeda di antara guru-guru lain.

Lihat selengkapnya