Memperhatikan keadaan sekitar, terus mengawasi tanpa berani bereksekusi tak ada bedanya dengan benda mati. Apa yang sebenarnya kau cari?
Hari-hariku terasa semakin berisi, kedekatanku dengan pak Arfan pun semakin menjadi.
Suatu ketika, ban motorku kempis. Mega merah di atas sana semakin menua warnanya. Motor dan mobil yang terparkir di sini berangsur susut karena waktu. Tinggal motorku seorang. Pak Sardi, penjaga sekolah sudah naik ke masjid. Bersiap melaksanakan salat magrib. Dengan berhuh pelan, kulangkahkan kaki menyusul Pak Sardi di sana, harap-harap pertolongan datang dari sang Kuasa.
Jamaah di masjid ini, biasanya hanya warga sekolah saja. Tapi karena warga sekolah sudah pulang ke habitat masing-masing, jamaah dipenuhi bapak-bapak dan ibu-ibu sekitaran SMK.
Hari semakin larut, pikiranku pun berlarut-larut dalam kegundahan ini. Pulang dengan siapa, ibuku sudah was-was pasti di sana.
Seusai salat, kuhampiri lagi motorku, berharap ada penolong datang. Aku percaya Allah pasti menolongku, tapi lewat tangan siapa masih menjadi tanya besar di kepalaku. Tak mungkin kan ku tunggui sampai pagi lagi, nginep di sini? Oh my god, it's not good idea. I don't like.
Di SMK ini memang ada bengkel, tapi para teknisinya sudah pulang. Bengkel di luar? Sempat tebersit di pikiranku, tapi jaraknya bikin geleng-geleng kepala.
Aku hanya bisa berpasrah di sini. Meminta bantuan Pak Sardi menjadi pilihan yang tak mungkin kupilih. Beliau sudah terlalu banyak pekerjaan, ditambah menolongku, aku tak kuasa melihatnya.
"Dorr..." Suara berat seorang lelaki mengagetkanku. Tak asing bagiku, mudah saja kukenali. Pak Arfan!
"Woy, Fir. Tegang amat, mukamu itu, loh, putus asa banget sii. Eh, eh, kok belum pulang, udah kelewat malem, noh," mukanya yang awalnya sumringah tiba-tiba turut terbawa suasana hatiku, kacau.
Tapi secercah harapanku muncul, masih ada Pak Arfan. Alhamdulillah kulantunkan berkali-kali dalam hati.
Masih dengan mukaku yang kusut masai, kutunjuk ban motorku yang kempis.
"Ha-ha, kasian.. cup-cup-cup, pulang bareng aku aja. Aku sendiri kok, kayaknya bisa searah juga." Katanya sambil menertawakanku.
"Tapii...,"
"Tak usah tapi-tapi, santuy."
Beliau mengambil motornya di belakang. Motornya tak diparkir di tempat yang seharusnya, lebih tepatnya di bengkel siswa. Makanya di sini tinggal motorku seorang.
Kunaiki motornya dengan hati-hati, dengan hati yang tak tahu perasaan apa yang menghadiri.
Sampai di rumahku, tak lupa kuperkenalkan pada ayah-ibuku. Benar, ibuku sudah was-was, anak sulungnya tak kunjung pulang.
"Ini Pak Arfan, Pak, Bu. Temen Fira di SMK, tadi motorku bocor." Pak Arfan menyalami ayah-ibuku.
"Arfan, Pak, Bu." Katanya sopan.