Black Turtle

Puji Utami
Chapter #8

Patah (Lagi)

Hari ini masih terlalu pagi, baru pukul 06.15 WIB. Pak Arfan menjemputku terlalu dini. Di kantor masih sepi, hanya Pak Sardi yang terlihat tengah membereskan ruangan.

Perpustakaan menjadi tujuanku menghilangkan gabut, kebetulan Bu Rus, penjaga perpustakaan, baru datang.

"Pagi, Bu." Sapaku seadanya.

Beliau hanya senyum sederhana, lebih terkesan sinis.

Bodoamat, pikirku.

"Fira..." Panggil seseorang di seberang sana. Di dekat pintu masuk perpustakaan. Suaranya yang berat, agak ngapak, tak mungkin aku tak mengenalinya. Pak Arfan!

Kuberdiri, beranjak dari bangku yang tengah kududuki. Menghampirinya.

"Iya, Pak. Gimana, ada yang bisa saya banting?" Jawabku polos.

"Kamu, ke ruang BK sekarang! Kamu telat!" Katanya serius. Aku tahu dia sedang ngelawak, sok menirukan guru BK baru yang katanya galak.

"Siap, Pak!" Kataku sambil menempelkan tanganku di pelipis, hormat.

"Ha-ha-ha, lucu kali kao ini." Katanya sambil menimpuk pundakku, berlogat sok Medan.

"Pak Arfan cocok banget deh kayaknya sama Bu BK baru itu, ha-ha. Mirip banget juga," kataku sambil mencubit tangannya yang menimpukku barusan.

"Ehm, ehm. Maaf, ya bapak-ibu, kalau mau pacaran jangan di sini. Ini per-pus-ta-ka-an! Nanti ditiru murid-muridnya, gimana?" Tiba-tiba Bu Rus sudah berdiri di belakangku. Kata-katanya biasa, tapi nada bicaranya menusuk. Entahlah, dari dulu saya kenal penjaga perpustakaan selalu seperti itu. Apa memang sudah ditakdirkan, setiap penjaga perpustakaan galak atau bagaimana aku tak paham.

Kikuk Pak Arfan di depanku. Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal beliau masuk perpustakaan, diikutiku yang senyum-senyum tak jelas melihatnya seperti orang ketakutan. Lucu.

Cara berjalan dan kebiasaan beliau mengingatkanku pada seseorang di masa lalu, apa kabar dia? Apakah sudah berkeluarga? Bahagiakah? Dengan siapa? Sekarang di mana? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap kali muncul di pikiranku saat melihat Pak Arfan, entah karena kebiasaan mereka mirip, atau memang perasaanku saja, aku tak tahu.

"Fir, sini duduk." Pintanya saat aku masih memilih-memilah buku di rak dekat mejanya.

Perpustakaan ini lumayan megah, meski hanya satu ruangan. Tapi muat untuk hajatan orang nikahan. Ada banyak rak dan meja panjang di tengah-tengahnya. Koleksi buku-bukunya pun lumayan lengkap, mulai dari buku-buku pelajaran sampai buku-buku bisnis ada di sini. Dari yang baru-baru terbit sampai yang sudah limited edition.

Kulihat Pak Arfan tengah membolak-balik buku Sejarah di depannya. Padahal yang kutahu beliau sama sekali tak menyukai sejarah.

Beliau pernah bilang, "Sejarah itu luka, kenapa harus dikenang? Hanya tangis yang diwariskan oleh sejarah, kenapa harus dipelajari?". Padahal pilihan kedua saat tes masuk perguruan tinggi beliau adalah Ilmu Sejarah. Alasan kenapa mendadak membenci sejarah, aku tak pernah mengerti.

"Dalam sejarah memang banyak luka, banyak air mata. Tapi dengan sejarah kita bisa belajar bahwa tak semua luka dan air mata itu harus dilupakan. Masa lalu yang kelam adalah salah satu jalan menuju masa depan yang lebih baik," kataku dahulu. Aku sempat hampir berdebat hebat dengan beliau karena sejarah. Entah apa yang membuat beliau begitu tak menyukai sejarah, padahal menurutku sejarah itu asyik. Banyak hal yang tak ada di zaman sekarang, ada di zaman dahulu, pun sebaliknya. Kita jadi bisa belajar menghargai banyak hal.

Kuambil buku sekenanya, menghampiri Pak Arfan.

"Fir..." Panggilnya ragu.

"Iya,"

"Kamu masih ingat kakakku yang pernah kuceritakan dulu?" Katanya masih ragu-ragu.

Lihat selengkapnya