Masih banyak luka yang terbawa setiap ku jejakkan kaki saat melangkah pulang. Guratan demi guratannya menyatu menimbulkan luka yang menganga tak siap ditinggal begitu saja.
Mungkin hanya segores, awalnya. Tapi, lama-lama duka itu kian berlanjut hingga nyata-nyata kabar demi kabar tersiar di mana-mana. Cuitan netijen semakin memupuk rasa tak berkesudahan ini.
Lukaku tak nampak di permukaan, tapi buncah ketika dalam kesepian. Tak ada yang perlu turut serta dalam sakitku, tak ada yang perlu tahu lukaku. Merasa sepi di keramaian, merasa asing padahal tak diasingkan, akan jadi hal baru yang perlu kubiasakan.
Aku dan -yang dipanggil Mas oleh Pak Arfan- saling pandang, kaku. Melihat kenyataan yang sungguh tak terduga, bingung, canggung.
Sudah sekitar 7 tahun aku tak pernah bertemu beliau lagi, kini malah dipertemukan di tempat dan acara yang tak disangka-sangka. Tuhan memang the best planner. Tapi, apa hikmah ini semua? Setelah perjuangan mengikhlaskan dia pergi bersama yang lain 5 tahun lalu, butuh usaha keras, luka, dan air mata. Hanya dengan sekedipan mata, semuanya luluh lantak. Aku gagal lagi.
"Ini Fira, Mas. Temenku yang pernah kuceritain," ujar Pak Arfan di sebelahku.
"Mas... Mas Dave, oiy," Pak Arfan melambai-lambaikan tangannya di depan seseorang yang dipanggil Dave itu, beliau masih menatapku kaku.
"Eh, iya. Saya Dave. Ini Ratri," katanya gugup.
Kusalami seseorang bernama Ratri itu, kuukir senyum selebar-lebarnya, harap-harap tak ada curiga di antara semuanya.
Masih dengan suasana canggung, Pak Arfan lagi-lagi memecah hening, "Jadi, kita mau diem-dieman gini terus? Di rumah juga bisa, kali, Mas."
"Hihi, ayo, duduk... duduk, kita makan sekarang." Dave masih terlihat sangat grogi, entah apa yang sedang dipikirkannya.
Setelah beberapa makanan dan minuman datang, hanya diam yang menyelimuti. Alunan musik syahdu yang menemani dan was-was di hati yang tak mau pergi.
Di depanku, Mas Dave, dia adalah guru SMK ku. Seseorang yang sedari dulu ingin kulupa, ku ikhlaskan, kuhempas dari segala pikiran. Tapi nyata-nyata semesta tak mendukungku. Dunia terasa selalu menyudutkanku pada kebetulan-kebetulan yang tak pernah kuinginkan.
Aku bertemu Pak Yudhi, yang tak lain adalah teman dekatnya, Pak Arfan yang begitu mirip dengannya, dan sekarang makan malam bersama di sini. Sungguh, apa yang harus aku lakukan?
Hatiku masih kacau, obrolan-obrolan ringan yang mereka lontarkan, tawa renyah yang -kutahu- tak Dave inginkan terasa begitu hambar. Aku tak menikmatinya. Rasanya ingin ku segera beranjak pulang, meratap dan merenungi ini semua.
Hampir aku lupa, ini adalah acara pertunangan kakaknya Pak Arfan. Dan yang datang justru Pak Dave, berarti Pak Dave adalah kakak Pak Arfan? Aduh, pusing aku dibuatnya. Kenapa jadi seperti ini?
Di tengah-tengah makan, sebelum semua beranjak pergi. Aku melihat keraguan dalam mimik Pak Dave, beliau terlihat ada yang mengganjal tentang apa yang akan dia lakukan.
Dengan ragu-ragu, beliau menggamit tangan perempuan di sebelahnya. Ratri. Beliau merogoh saku jasnya, sebuah kotak terbungkus beludru merah terang berbentuk hati dikeluarkannya.
"Ratri, aku tak tahu apa yang harus aku katakan, aku bukan seorang pria yang romantis. Will you marry me?" Sebuah cincin bermata satu, indah sekali terlihat di dalam kotak beludru tersebut. Dengan wajah tegang, campur aduk, Pak Dave gugup.
Perempuan bernama Ratri itu tersipu, mukanya merah padam. Malu-malu dia mengangguk, lemah.
"Yes, I will." Katanya lembut.
"Yeee, Alhamdulillah. Akhirnya populasi jomlo menurun lagi," sorak Pak Arfan, riang.
Masih ada luka yang tercipta setiap kali ku mengingatnya, pun sekarang nyata-nyata di depan mata. Aku tak kuat.
Melihat air mataku menetes, Pak Arfan meledekku.
"Dia yang tunangan, kok kamu yang baper,"
"Apasi, baper dikit gak boleh, apa?"
"Iri, ya? Ciye, dasar jomlo,"
"Ngaca, oiy, ngaca! Ha-ha,"
Tak berselang lama, aku tak tahan. Akhirnya kami pamit pulang duluan.
Pak Arfan yang membawaku ke sini, Pak Arfan pula yang mengantarkanku pulang. Aku butuh penjelasannya, terkait Pak Dave tadi, tapi aku tak kuasa menahan tangis setiap kali mengingat kejadian tadi. Air mataku keras kepala sekali, tak bisa diajak kompromi.
Dalam perjalanan menuju rumahku hanya lengang yang mendominasi. Pak Arfan tiba-tiba menjadi pendiam, dan aku tentu saja tak ada nafsu untuk sedikit pun bicara, hatiku remuk lagi!
Pukul 21.15, di depan rumahku.
"Aku langsung pulang aja, ya?"
"Iya, hati-hati." Tanggapku loyo. Kulambaikan tangan secukupnya, menunggu Pak Arfan tapi tak kelihatan siluetnya. Kuseret kakiku menuju kamar segera, terseok-seok. Hatiku hancur lagi!
Adegan demi adegan tadi, terus terputar berulang-ulang di kepalaku. Denyut ngilu dalam hatiku terasa semakin menjadi. Ya, Tuhan bantu aku mengikhlaskannya. Cukup sekali saja kecewa terhadapnya, jangan beri kesempatan aku untuk mengulanginya.
Dalam keadaan batin yang tak biasanya, air bah mengalir dengan derasnya. Menggenang di pipi, membanjiri bantal. Mana bisa tidur nyenyak dalam perasaan seperti ini.
Kalut. Makan tak enak, tidur tak nyenyak.
Hari ini Minggu. Tak ada rencana, tak ada agenda. Seberes membereskan rumah, membantu ibu, dll, kuberanjak naik menuju kamarku. Menulis menjadi pelarian utamaku.
Buku bersampul kupu-kupu itu membuatku geli sekaligus ngeri. Bagaimana tidak, hampir seluruh isinya menceritakan tentang seseorang yang jelas-jelas ingin kulupakan, tapi justru kuabadikan. Eh, gimana?
Lembar demi lembarnya kubuka, kubaca, kuratapi, kuingat-ingat kejadian demi kejadiannya.
Kura-kura Misterius
Aku mengagumimu tanpa tapi,
Tanpa mendengar ocehan orang-orang di sekitarku yang
Mungkin iri terhadap perasaanku.
Mengagumi dalam sepi, memang berat