Black Turtle

Puji Utami
Chapter #12

The Real Black Turtle

Yang dekat merapat, yang jauh tambah jauh. Perasaan adalah tempat paling absurd yang pernah kukunjungi. Di mana ego selalu meminta dituruti, gengsi selalu ingin ditinggikan, dan keadaan selalu dikalahkan oleh mereka. Sungguh, perkara rumit mana lagi yang bisa menandingi?

Seseorang berbaju keki di depanku ini hanya menggeleng, melebarkan tawa. Buku yang tengah ia baca dilepaskannya, lamat-lamat menatapku serius.

Kenapa bisa semenegangkan ini? Woy Kak Adnan, kenapa menipu seperti ini! Katanya wawancara itu asyik! Asyik dari mananya!

Pikiranku menghujat nyata, apa-apa yang dikatakan Kak Adnan tak selalu dipercaya. Menjadi pelajaran pertama: jangan terlalu pada orang, meskipun ia femes sekali pun!

"Santai aja, kali, Ra. Saya ngga akan makan kamu, kok," cairnya melelehkan waktu.

Tegang. Raut mukaku pasti sudah seperti bokong panci kepanasan: datar, gosong!

"Udah bisa dimulai wawancaranya? Mau mulai dari mana?" Alisnya terangkat, menatapku lembut.

Sungguh, apa-apan ini. Beraninya menatapku seperti itu. Tak tahukah gemuruh yang ada di dadaku? Tak tahukah betapa ingin lari aku dari sini, berguling-guling kegirangan seperti bocah baru mendapat hadiah yang dia mau selama ini. Pikiranku merutuk, bersikeras agar bisa bersikap biasa saja.

"Tapi saya belum buat daftar pertanyaannya, Pak? Kemarin niatnya Pak Alif narasumbernya, tapi beliau sibuk banget,"

Beliau hanya menggeleng, lalu tersenyum. Dan, lagi-lagi menatapku lembut.

"Ya sudah, tanyakan saja apa yang kamu tanyakan, nggak pake daftar pertanyaan. Saya yakin, kamu bisa, Ra. Life is flow, and angap saja wawancara ini hidupmu," tukasnya, panjang.

Aku masih duduk diam membisu, mau mulai dari mana? Adaptasi saja susah banget, apalagi bareng dia. Sungguh, keadaan ini membuatku makin terpojok. Zaki juga, ke mana dia. Apa kantin udah pindah ke Pluto? Lama!

Aku masih merutuk, mencoba merelaksasi pikiran.

"Tapi, alat perekamnya dibawa Zaki, Pak," kataku setelah sekian lama hening.

Beliau tersenyum lagi.

"Tanpa perekam juga kamu pasti inget, Ra. Mengalir aja,"

"Kamu sama Zaki deket banget, ya?" Sambungnya lagi, mencoba membuka obrolan.

"Dia temen SMP, Pak tetangga juga,"

"Rumah kamu deket sini?"

"Engga, Pak. Lumayan jauh, 15 menitan kalo naik motor. Kalo Bapak, di mana?"

"Rumah saya ditinggal, Ra,"

Giliran alisku yang terangkat, apa-apaan garing banget, hey.

"Loh, kukira kek kura-kura, rumahnya dibawa terus," recehku mencoba menimpali kegaringannya.

"Mana ada kura-kura tempurungnya di depan," tawanya makin lebar. Emang lucu, ya?

Lihat selengkapnya