Jalan memang selalu berliku, kadang terjal, kadang pula menanjak curam. Tapi kesempatan juga selalu datang, membarengi keinginan-keinginan yang tiada batasnya. Meski mungkin sempat terpikir mustahil, namun percayalah tuhan selalu ada di antara kemustahilan.
Masih seperti sedia kala, rutinitas yang tiada ubahnya. Senin-Jumat sekolah, Sabtu-Minggu berkelana bersama mas Arfan. Hanya saja kali ini bukan cuma berdua dengan beliau mas Dave kini turut mengisi hari-hari ku. Mas Arfan masih selalu mengantar-jemput ku, menjadi teman terbaikku, selalu ada untukku.
Suatu ketika, Penilaian Akhir Tahun akan diadakan. Sementara aku ditunjuk sebagai sekretaris panitia, orang baru sepertiku ini tak tahu apa yang harus dilakukan lebih dulu. Mas Arfan selalu ada membantuku.
"Santai aja, Fir. Aku dulu juga pernah jadi sekre, buset kerjaannya banyak banget. Buat ini buat itu, cetak ini cetak itu. Tapi tenang, jangan risau pasti aku bantuin kamu," ujarnya enteng saat di kantin.
Aku percaya sepenuhnya padanya, tapi yang kutakutkan perasaannya padaku kian melambung, dan aku tak bisa membalasnya. Bukankah itu hal yang paling menyakitkan?
"Mas, hujan. Bisa kita berteduh dulu, atau gimana?" Kataku saat hendak pulang bersama mas Arfan.
"Udah hampir nyampe, Fir. Kamu nggak akan sakit, tenang aja," katanya menenangkan.
"Tasku basah semua, Mas. Nggak ada mantel, ntar pada rusak, gimana?"
"Nggak akan, ini dikit lagi nyampe,"
Benar saja, tak sampai lima menit kami sampai di rumahku.
Hujan pertama di awal bulan terakhir tahun ini menjadi awal semua rahasia terpecahkan.
"Mas, Arfan masuk dulu. Ganti baju atau mandi juga nggak apa-apa. Nanti sakit," ujar ibuku ketika melihat mas Arfan basah kuyup. Apa-apaan ibuku ini, anaknya juga basah kuyup, tapi kenapa mas Arfan yang disuruh mandi? Rutukku cemburu.
"Aku juga basah, loh, Bu," kataku cemberut.
"Kamu, juga. Cepat mandi," katanya tak ada lembut lembutnya padaku.
Mas Arfan cengengesan melihatku cemburu padanya. Beliau menjulurkan lidah saat ibuku telah masuk.
"Mas Arfan mandi dulu, ya. Nanti pake baju bapaknya Fira. Nggak apa-apa, kan, mas?"
"Nggak usah, Bu. Pake baju fira aja, haha," ledekku balik.
"Saya langsung pulang aja, Bu. Ngerepotin," basa-basi nya, basi.
"Udahlah mas, nggak usah basa-basi daripada sakit ntar yang aku ledekin di sekolah siapa,"
"Cie khawatir ciee," ledeknya.
"Apaan, sih,"
"Yaudah, yaudah. Kalian ini cocok banget sih. Mau mandi aja pake ledekledekan dulu. Saya ambilin pakaiannya bapak dulu, ya, mas Arfan," ibuku pergi ke belakang, menuju kamarnya mengambil beberapa potong pakaian untuk mas Arfan.
"Aku duluan, mas. Mas Arfan di sini dulu, aku mandi duluan, wlee," kataku sambil bergegas naik ke kamarku, mandi.
Dalam hal mandi aku tak pernah betah lama-lama. Tak butuh 5 menit, aku keluar bergegas turun setelah mandi dan berganti pakaian tentunya.
Seseorang berdeham melihatku turun, beliau masih basah kuyup.
"Belum, mas?" Tanyaku pura-pura. Padahal dalam hati, sukurin kedinginan kan, loh.
"Kata ibumu aku harua nungguin kamu dulu, kamar mandi di bawah lagi rusak,"
"Hah, dia mau pake kamar mandiku? Duh, untung udah bersih, biasanya kan tak enak disinggahi," pikiranku kemana-mana.
"Hem, sana cepet. Jangan macem-macem di sana ya. Awas lo!"
Tanpa menjawab apa-apa, beliau langsung melesat naik.
Hari semakin sore, setelah hujan agak reda mas Arfan pamit pulang, setelah sebelumnya beliau makan malam di sini.
"Mas Arfan cuma tinggal berdua di sini, loh, Bu," celetukku saat makan.
"Iyaa? Sama siapa?"
"Sama kakak, Bu,"
"Kalo begitu besok kamu sama kakakmu datang ke sini lagi, ya. Kita makan malam bareng, itung-itung tasyakuran anniversary bapak sama ibu, ya, kan, bu?"
Duh, apa-apa sih bapak sama ibu, pake acara anniversary-anniversary segala, 'kan malu. Batinku, tepok jidat.
Mas Arfan malah cengengesan melihat tingkahku yang makin absurd menanggapi ajakan bapak.
"Iya, Pak. Terimakasih, nanti saya bicarakan sama kakak saya,"
Mas Arfan pulang, rumahku lengang. Saatnya tidur, besok masih Jum'at belum weekend, pekikku dalam hati.
*
Pagi ini, seperti biasa. Mas Arfan menjemputku ke sekolah, tetangga-tetanggaku sudah tak heran lagi dengan semua ini. Dan lebih tepatnya aku tak peduli dengan kasak-kusuk mereka yang sudah pasti tak semuanya benar. Selalu ada bumbu ketika tetangga satu dengan yang lainnya berkumpul, membicaraan saudaranya. Tak afdol memang jika tak busa mereka tak berbumbu, kurang jlep rasanya.
"Pak, bantuin aku nyiapin berkas-berkas untuk PATnya ya. Aku benar-benar masih tabu," ujarku saat di perjalanan.
"Siap, semua berkas tahun-tahun lalu masih ada noh di flashdisk-ku. Tinggal edit aja, gampang. Ambil aja di tasku itu," timpalnya.
Itulah yang kusuka dari beliau, selalu bisa membuatku dimudahkan.
Sesampainya di sekolahan, seperti biasanya: sepi. Ruangan bercat krem ini hanya berisi berkas-berkas karyawannya, Pak Sardi yang sedang bersih-bersih, juga aku dan Pak Arfan yang baru saja sampai. Yang lain?