Mendengar cerita ibuku tadi, rasa kantukku mendadak lenyap digantikan seribu tanya, seribu kebimbangan. Ibuku bercerita, saat perpisahan dulu Pak Davin sempat menemuinya, mengantarnya pulang, setelah sebelumnya mengajak ibuku makan siang kala itu.
Beliau menanyakan banyak tentang diriku, iya muridnya yang paling absurd ini. Mengulik banyak masa laluku, rutinitasku, hingga hal tak terjamah pemikiran ibuku: hubungan asmara.
Beliau menanyakannya begitu detail, seperti menginterogasi. Tapi masih dalam batasan. Beliau menjadi guru panutan, karena kesopanannya, dan caranya memperlakukan lawan bicaranya.
Saat itu, aku masih menjalin asmara dengan mantan kekasihku. Meskipun hanya sebagai pelarian saja. Aku mencintai seseorang yang tak mungkin bisa kumiliki, dan rasa itu tak bisa dengan mudah dilenyapkan begitu saja. Sebagai pelampiasan luka laraku berminggu-minggu, seorang temanku datang menawarkan seonggok madu sebagai obat lara hatiku. Tanpa pikir panjang, tanpa banyak bicara kuterima saja, toh ini hanya main-main: cinta monyet, pikirku dulu.
Ibuku menjawab semua tanya yang Pak Davin saat itu ajukan, termasuk masalah asmara tadi, dan ibuku menjawab aku masih sendiri.