Mentari sudah menyingsing lebih tinggi, dari jendela kamarku indah nian pemandangan di luar sana. Burung-burung terbang ke sana ke mari, menjemput rezeki pagi ini.
Seekor kupu-kupu hinggap di jendela kamarku, menabrakkan diri memaksa masuk. Disusul seekor kupu-kupu lainnya yang turut mengetuk-ngetuk jendela ini.
Sebuah novel karya Tere Liye berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini menjadi temanku saat ini. Merilekskan pikiran, harap-harap menemukan jalan keluar.
Fokusku lagi-lagi terpecah, ketika pintu kamarku tiba-tiba diketuk pelan.
"Masuk aja, nggak dikunci,"
Aku yang masih fokus dengan buku di tanganku tak sedikit pun kepikiran siapa yang datang. Seseorang berbatik biru berdiri tepat di depan kamarku, menatapku heran.
"Fir..." Panggilnya pelan, lalu mendekat ke jendela tempatku kini duduk.
Aku masih terpaku dengan bukuku. Isinya begitu dalam menusuk sampai ke ulu. Tajamnya kisah yang penulis tuliskan membuatku tak tahan meneteskan air mata. Bukannya aku seorang yang baperan tapi kisah ini hampir mirip dengan kisahku; cinta dalam diam, berakhir luka. Aku takut kisahku akan setragis kisah mereka, apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Air mataku meleleh lagi tak bisa dibendung.
"Fira, kamu kenapa?" Ucap seseorang mengagetkanku. Pak Arfan sudah berada tepat di hadapanku tanpa kusadari sebelumnya.
"Pak Arfan, ngapain di sini?" Tanyaku kaget.
"Aku menjemputmu seperti biasa, kata ibumu aku disuruh ke sini menengokmu yang sedari tadi tak terlihat keluar kamar," terang Pak Arfan. Aku hanya mendengarnya saja, tak merespon atau pun berkomentar sedikit pun, tak mengangguk atau pun tersenyum sekali pun.
"Kamu kenapa nangis? Terus kenapa masih pake baju tidur. Ini udah siang, Fira... Kamu mau telat?" Pak Arfan menghujaniku dengan banyak pertanyaan yang sama sekali tak perlu kujawab.
Aku lupa mengabari Pak Arfan kalau hari ini aku ambil cuti. Itu semua juga karena beliau, dan kakaknya itu. Aku merasa harus sedikit menjaga jarak dengan mereka sekarang. Aku tak mau melukai mereka.
"Maaf, Pak saya lupa mengabari. Hari ini saya cuti, saya juga udah minta izin ke Pak Dwi juga Pak kepala sekolah. Sekali lagi maaf, Pak. Bapak bisa langsung berangkat sekarang tanpa perlu menunggui saya, saya nggak apa-apa. Saya cuma baper baca novel ini," terangku panjang lebar sambil menunjukkan novel bersampul gambar daun itu. Pak Arfan masih mematung, tak bergeming.
"Dan, besok-besok kayaknya nggak perlu lagi antar-jemput saya lagi, Pak," pungkasku.
"Tapi kenapa?" Tanyanya dengan raut wajah yang kebingungan. Aku hanya menjawab dengan gelengan pelan. Maaf.
*
Setelah lelah hanya santai-santai di kamar tanpa aktivitas yang menguras tenaga, selain memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi; yang benar-benar menguras pikiran, aku menghubungi teman SMA ku. Aku tak melupakan mereka, sekecil apa pun kenangan yang pernah kami ukir di masa lalu. Sudah lama aku tak bersua dengan mereka, mereka apa kabar sekarang?
Mereka-lah orang pertama yang selalu mendukungku, apa pun keputusanku. Mereka juga menjadi tempat paling nyaman untuk berkeluh kesah, bercerita sampai lupa masa. Mereka-lah keluarga keduaku.
Sebuah tempat makan kecil di sudut kota ini menjadi tempatku bersua dengan sahabat lama. Sebuah karya luar biasa yang dibuat sepenuh hati, dinding-dindingnya yang dipoles seirama tak membuat bosan setiap penghuninya.
Lukisan-lukisan benda-benda luar angkasa yang dibuat 3D menjadi kesan yang tak bisa dilupa, pemiliknya begitu tepat memilih setiap dioramanya.
Pisang coklat lumer dan ice lemon tea pesananku telah tiba di depan mata, disusul Inta dan Ninda, sahabat sekaligus keluarga keduaku, datang.
Mereka tak banyak berubah. Tinggi mereka masih tak jauh berbeda denganku, pun badannya: masih gembul.
"Firaaa...." Pekik mereka bersamaan. Memelukku seperti ingin menumpahkan rindu yang telah lama ditampung di relung jiwa.
"Inta, Ninda, kalian apa kabaar?" Tanyaku sendu, melepas pelukan mereka. Mataku sembab dibanjiri linangan air mata bahagia ini.
"Haha-hihi kami yang sedari SMA tak pernah mengenal absensi, lalu hilang ditelan pedihnya perpisahan, sekarang kembali mengukir aksi mengisi reuni.
Kita hidup layaknya pohon, tak akan bisa tumbuh besar jika terus berdekatan tak bersekat. Dan perpisahan menjadi tempat untuk itu. Menjadi besar dan tumbuh menjadi manusia yang lebih kuat dari kita saat masih bersama orang-orang tercinta. Karena tak selamanya hidup selalu bersama orang-orang yang sejalan dengan kita.
Seperti Inta yang kisah asmaranya lebih baik dariku dan Ninda, dia telah berkeluarga setahun yang lalu. Sementara aku dan Ninda masih terjebak dalam hiruk-pikuk asmara yang belum pasti arah tujuannya.
Tapi dalam bisnis, Ninda juaranya. Kafe-nya sudah banyak membuka cabang di banyak kota-kota besar di Indonesia, karyawannya sudah ribuan, omzetnya ratusan juta. Dan aku, bisa menggapai cita-cita masa kecilku sudah sangat membuatku bahagia; bisa berguna untuk kemajuan bangsa dan negara tercinta, Indonesia. Yah, walaupun menjadi guru tak pernah ada dalam list cita-citaku, tapi dengannya aku bisa bertemu insan-insan cendekia di banyak tempat.
Tapi yang namanya manusia pasti ada susah senangnya, ada suka dukanya, ada kurang lebihnya. Banyak orang bilang, rumput tetangga lebih hijau, padahal mereka tak tahu di dalamnya banyak serangga yang mungkin tak terlihat dari luar, atau mungkin mereka tak tahu seberapa besar pengorbanan yang telah dikeluarkan untuk menghijaukan rumput tersebut.
Inta, meski keluarganya cukup bahagia, kisah asmaranya begitu manis kelihatannya, tapi kehamilan pertamanya ternyata tak bisa diselamatkan.
Pun Ninda, bisnisnya yang begitu sukses, cabang di mana-mana, omzetnya luar biasa. Pengorbanan yang dia keluarlan pun tak main-main. Dia pernah kena tipu oleh temannya sendiri, investasi dan beberapa asetnya dibawa kabur entah ke mana, namanya juga banyak disalahgunakan untuk menjadi jaminan utang di banyak bank.
Aku? Untuk mencapai sampai di sini banyak sekali kerikil yang menjadi penghalangku, jalan yang berliku tak henti-hentinya menghampiriku. Tapi apa yang lebih membahagialan daripada hobi yang dibayar sekaligus bisa berguna untuk bangsa tercinta? Bersyukur adalah jalan satu-satunya agar seberapa pun hasil bisa memuaskan.
"Ta, Nin, kalian masih inget Pak Davin?" Tanyaku ragu. Inta dan Ninda saling pandang, kaget. Ada raut tak suka pada wajah mereka.
"Kamu masih belum move on, Fir?" Kata mereka berbarengan. Gantian aku yang kaget mendengarnya.
"Bukan, bukan gitu. Kalian tahu, sekarang aku lumayan deket sama keluarganya?"
"Apa!" Lagi-lagi mereka mengucapnya bersamaan.
Aku menceritakan semua kisahku pada mereka, sejak awal bertemu adik Pak Davin, Pak Arfan, sampai kabar dari ibuku bahwa Pak Davin pernah melamarku saat wisuda dulu.
Sudah kuprediksi dari awal, mereka tak mungkin bisa biasa saja mendengar ini. Aku saja yang mengalaminya masih terheran-heran.