Kedatangan Agas membuatku tak kikuk lagi, sungguh kenapa semesta selalu saja tak memberiku ruang untuk sejenak saja menjauh dari orang ini. Pak Arfan tak ada sangkut-pautnya dengan masa laluku, tapi kini masa depanku pun berada di antara pilihan memilihnya.
Kuhampiri Agas di depan sana, pandangannya jatuh pada Pak Arfan yang sedang berdua denganku. Kupersilakan dia masuk. Mengenalkan keduanya. Keduanya saling berjabat tangan, tersenyum, dan mengucapkan nama masing-masing. Ada getir pada senyum Pak Arfan, aku tahu raut cemburu itu sedang mati-matian beliau sembunyikan. Tapi aku sudah mengenalnya lama, dan sifatnya yang mirip kakaknya semakin membuatku yakin beliau tak baik-baik saja sekarang.
Tak berselang lama, Pak Arfan pamit pulang. Masih ada sesuatu yang belum selesai dipersiapkan, alasannya. Aku tahu, beliau tak ingin menampakkan sakitnya padaku. Beliau tak ingin sesaknya sampai padaku.
Agas memang sudah ada janji padaku, akan mengajakku pergi mengisi liburan tahun ini. Sekadar berjalan-jalan atau hunting kuliner seantero kota ini. Aku senang senang saja jika semuanya kulakukan dengannya.
Sebenarnya dalam hatiku yang paling dalam, aku masih bingung. Apa benar ini cinta? Atau Agas hanya menjadi tempatku menghilangkan penatnya menahan rindu sendirian lalu dihempas rasa sakit tak berkesudahan? Aku takut, rasa senang yang hadir dalam diriku saat ini hanya menjadi bumerang untuk luka-luka di masa mendatang. Aku sudah lelah patah hati, sekarang Agas datang menawarkan bahagia, lantas apa dia hanya tempatku menetap sementara, Tuhan? Bisikku merayu tuhan.
Libur akhir tahun akhirnya usai. Semester genap pun dimulai, banyak agenda, banyak target yang menunggu di tahun ini. Seambrek rencana mulai menggoda untuk sekadar disentuh.
Hari ini Rabu. Katanya, hari raya rindu. Sejak kutolak mentah-mentah dulu, Pak Arfan tak pernah lagi mengantar atau menjemputku ke sekolah. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menjalari tubuhku. Pak Arfan apa kabar? Pikirku tiba-tiba. Aku merasa bersalah pernah menjauhinya, aku menyesal pernah tak terus terang saja perihal rasaku. Dilema! Aku tak paham dosa apa yang pernah kuperbuat, sampai-sampai problematika kehidupanku tak kunjung membaik. Aku yang kurang bersyukur atau memang tuhan sedang mengujiku agar lebih baik? Entahlah, sekarang aku merindukan Pak Arfan!
Ruangan yang telah menjadi markasku saat penat selama satu semester ini lumayan ramai. Jam di dinding sudah menujukkan pukul 07.00. Tapi seseorang yang kutunggu sejak lama tak kunjung terlihat batang hidungnya. Di mana dia?
"Bu Fira... Spaneng amat, lagi nungguin siapa, sih, Bu?" Ucap Bu Diva membuyarkan lamunanku.
"Enggak, Bu," aku menggeleng pelan, harap-harap Bu Diva tak menaruh curiga pada gelagatku yang memang sedang tak biasa saja.
Dulu, aku pernah berpikir: apa sulitnya menahan rindu, kenapa orang-orang sekarang mudah sekali terkontaminasi sifat alay. Apa cuma gara-gara cinta mereka melupakan banyak teori yang telah pusing-pusing dicari hampir lebih 17 tahun? Tapi sekarang, aku terkena imbasnya. Pepatah senjata makan tuan memang benar-benar ada! Aku menyesal pernah julid terhadap para pecinta. Ternyata serumit ini rasanya.
Tak bisa kutahan lagi rindu ini, Pak Arfan tak kunjung tiba di kantor padahal waktu istirahat pertama hampir tiba. Kutelpon beliau, berharap ada kabar darinya. Tapi nihil, tak ada jawaban. HPnya tak aktif! Pikiranku semakin tak menentu, pikiran-pikiran buruk mulai berhamburan dalam otakku.
Kuberanikan diri bertanya pada guru di sebelahku, Pak Yudhi.
"Pak Yudhi..." Ucapku terbata-bata. Tak ada orang lain di sini selain beliau. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing di kelas-kelas.
"Iya, Bu Fira ada apa?" Jawabnya sigap.
"Mmm, Pak Yudhi tahu Pak Arfan ke mana? Kok dari tadi saya nggak lihat beliau, ya?" Tanyaku hati-hati. Takut beliau mengira yang tidak-tidak.
"Cie, baru ditinggal beberapa hari udah rindu aja, nih. Beliau kan baru pindah tugas akhir tahun lalu, Fir. Masa nggak tahu," ledeknya tak ubahnya dengan guru lain. Ini yang kurang membuatku nyaman berlama-lama dalam ruangan ini, apalagi jika Pak Arfan sendiri tak ada di sini. Aku tak bisa menahan rona merah di pipi sendirian.
"Pak Arfan pindah?" Ulangku meyakinkan.
"Iya, kemarin pas rapat besar dengan bapak kepala Pak Arfan menawarkan diri untuk dipindahtugaskan ke luar kota," jelasnya. Aku masih tak percaya, kenapa beliau tak mengabariku? Pak Yudhi bilang akhir tahun ini, tapi kenapa semuanya seolah bungkam. Apa beliau sakit hati? Sungguh, tuhan izinkan aku berbincang dengannya, sekadar meminta maaf juga mengobati rindu.
Sepulang sekolah ini tujuanku bukan rumah sendiri, melainkan Pak Arfan. Jalan menuju rumahnya masih kuingat betul, liku jalannya tak sedikit pun berubah, beberapa kali aku berkunjung ke sini sebelum semua rahasia terbuka. Semua baik-baik saja, awalnya.
"Assalamualaikum," pekikku sambil mengetuk pintu rumah Pak Arfan. Tak ada suara, sampai kuulangi dua kali masih tak ada jawaban. Seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Sepi.
Untuk yang ketiga kalinya, "assalamu..." Belum selesai ku berucap pintu rumah terbuka.