MOMMY MICIN: Hey anak beban!
ANAK DEGIL: Selamat pagi Ibu Negara. Selamat hari Ibu Mommy micinku, sayangku, taykucingku :')
MOMMY MICIN: Halah. Hari ibu hari ibu, suruh beli garam malah pergi kemana lu?
ANAK DEGIL: Aito ada urusan bentar. Bentar aja :')
MOMMY MICIN: Tiga hari tiga malem lu bilang sebentar? Balik lu sekarang atau gua pepes lu ntar malam!
ANAK DEGIL: Buset!
Hito yang sedang tiduran di atas jok motor sambil makan Apel hijau dan menatap senja, perlahan mulai bangkit disusul menyalakan mesin motor Astrea kesayangannya. Ia baru saja membangunkan macan betina dari tidur lelapnya.
"Ngomongin pepes, kok gue jadi laper ya? Cari warteg bentar deh," kata Hito, disusul menarik gas motornya dan mencari warteg terdekat.
Tepat di persimpangan lampu merah, Hito dan motornya itu berhenti. Dari mulutnya, tersumbat kojek rasa susu melon. Ia kemudian melirik pengendara yang berhenti tepat di zebra cross, ada asap mengepul di sekitar wajah pria dewasa yang penuh ketenangan itu.
"Bang, kalau mau ngerokok gak di sini tempatnya. Ini jalan. Nanti kalau asap rokok Abang ngebahayain pengendara lain gimana? Apalagi itu tuh ada apinya, kena mata bahaya." Hito menegurnya setelah ia menjauhkan kojek dari mulutnya sebentar,
Bukannya malu setelah ditegur oleh pemuda umur enam belas tahun, pria itu justru mendelik dengan tampang meremehkan.
"Kakek gue hidup di jalanan seratus tahun, tapi belum denger tuh ngerokok di jalan kenapa-napa," balas pria itu, santai. Kelewat santai malah.
"Ngerokoknya pas udah parkir kali?" sahut Hito.
"Bukan," tukas pria itu lagi.
"Terus kenapa?"
Pria itu berdeham. "Karena zaman dulu belum ada motor, kakek gue ngerokok sambil jalan. Hahaha," candanya.
Bayangkan tawa si Abang itu mirip tawa squidward dengan hidung kembang kempisnya. Hito meneguk ludah seret. Ingin sekali ia menampol wajah pria itu. Tetapi ia tahan mengingat lampu lalu lintas sebentar lagi kuning.
Tahan .... Hito, tahan .... Yang waras harus ngalah, batin Hito.
"Yang terpenting, Kakek gue juga gak ikut campur urusan orang," tambah si pria tadi sambil disusul menarik gas karena lampu sudah hijau. Dan menyebarluaskan asap knalpotnya sampai terkena wajah Hito yang kini batuk-batuk.
"Sepertinya tata krama belum ditemukan di sini," cibir Hito sambil mulai menarik gas dan melanjutkan perjalanan ke warung Ceu Kokom. Di tengah perjalanan, ia mendapati seseorang yang memakai pakaian serba gelap sedang berjalan di trotoar sambil menggendong sebuket bunga.
Alih-alih pergi ke tempat tujuan, Hito justru menepikan motornya saat melihat orang itu pergi ke tempat dengan gapura kecil. Ia kemudian turun dari motornya dan berniat untuk mengikuti orang itu sampai masuk ke dalam dan berhenti di sebuah gundukan basah.
Rasa-rasanya, Hito seperti tidak asing dengan wajah itu. Dia juga tahu kalau ada orang lain di sana. Di dalam gundukan-gundukan yang tanpa perlu susah payah memeriksanya. Yang jadi pertanyaan Hito, kenapa orang itu datang sendirian? Kemana orang-orang yang seharusnya melayat?
Dilihatnya, orang itu menaruh buket bunga yang dibawanya tepat di sebuah nisan, orang itu juga berbicara sendiri seolah sedang ber-telepati karena tak ada suara yang menjawabnya.
Tak berapa lama, dari kejauhan, Hito melihat orang tadi pergi dari makam itu. Karena Hito masih penasaran, ia menghampiri nisan yang dikunjungi orang tadi dan menemukan sebuah tulisan di nisan itu.
Buru-buru Hito berlari mengejar orang tadi. Tapi ia tak menemukan apapun. Gadis yang dicarinya itu sudah pergi. Dan ia malah bertemu dua cowok-yang salah satunya ia kenali.
"Ato, ngapain lo disini?" Dika, sangat kaget melihat teman satu SD-nya dulu -seperti anak hilang di area pemakaman.
"Gue lagi jalan-jalan sore. Lo ngapain di sini?" Hito balik bertanya.
"Abis dari pemakaman Mama," jawab Dika.
Hito berpikir sebentar. Kebetulan ada Dika. Ia kemudian tersadar harus berkata apa. "Ke rumah gue yuk! Temuin Nyokap. Pasti dia seneng kalau ada lu ke rumah. Kita bisa bagi kasih sayang," ajak Hito selanjutnya, sambil menaik-turunkan alis. Hito sedang mencari pengalihan agar tidak kena omel si Mommy nantinya.