HEMBUSAN angin malam membuat rambut hitam itu, terbang beberapa helai ke belakang. Bak seorang model, rambut itu bergoyang ke sana kemari, mengikuti hembusan angin malam yang terbilang cukup dingin.
Seorang cewek tengah bergembira ria bersama seorang cowok di depan nya. Senyum tak henti-hentinya terukir di wajah mereka.
"Kak Arga kenapa milih Ektra Paskibra?"
Arga tersenyum, lantas menolehkan kepalanya sedikit ke arah Icha.
"Biar bisa ketemu sama lo," ucap Arga, entah didengar oleh Icha atau tidak, karena angin malam cukup kencang. Ditambah dengan laju motor Arga.
"Ih kak Arga mah sukanya bercanda," cerocos Icha tak terima. Ia bertanya serius, malah Arga menjawab dengan gombalan.
Arga tertawa disusul oleh pukulan gemas dari Icha ke perut Arga yang terbilang cukup berotot. Tak perlu waktu lama, mereka sudah sampai di depan halaman rumah Icha yang dipenuhi dengan berbagai bunga. Ditambah dengan germelap lampu taman.
Icha menjejakkan kakinya dengan susah payah. Icha yang kesusahan langsung dibantu oleh Arga. Tak lupa ditambah cekikikan dari Arga.
"Kalau tumbuh yang tinggi dong. Sebenarnya, nih motor tinggi atau lo yang pen...AWW!" Arga kesakitan karena kakinya diinjak oleh Icha.
"Ih Kak Arga gitu, Icha gak suka," tegur Icha membuang wajahnya dari pandangan Arga. Arga yang melihat hanya bisa tertawa lalu meminta maaf.
"Iya, iya, gue minta maaf . Udah gih, lo buruan masuk. Sebelum Mama lo marah," ucap Arga masih lembut dengan senyumannya. Icha yang semula sedang merajuk seperti anak kecil, tak bisa untuk tersenyum karena Arga. Ia luluh kembali dengan senyumnya.
"Ih, Kak Arga mah, kan Icha masih marah dikatain pendek."
"Eh Cha, lo suka bunga yang mana?" usul Arga mengalihkan topik. Sekarang pukul tujuh lebih lima belas menit. Pintu gerbang rumah Icha belum tertutup, jadi mereka bisa melihat pekarangan rumah Icha dengan leluasa.
Icha yang merajuk, akhirnya mengikuti arah pembicaraan Arga. "Kalau Icha suka bunga Melati, harum, putih, bersih lagi. Kalau Kak Arga suka bunga apa?"
Arga terlihat seperti sedang berpikir keras. "Sebenarnya, gue gak terlalu suka sama bunga sih," jeda Arga sedikit, dan membuat wajah Icha tertekuk turun. "Tapi, gue pilih bunga Mawar, bagi gue, bunga Mawar itu bagus. Punya duri buat ngelindungi bunga yang lain. Warna yang mencolok. Dan satu yang membuat bunga Mawar mudah diingat...."
Icha mendengarkan dengan seksama ucapan Arga tentang pembahasan bunga. Icha masih setia mendengarkan alasan Arga memilih bunga Mawar. "Apa Kak? lanjutin, ayo!"
"Bunga Mawar kayak lo, merah, indah, wangi. Kalau batang nya yang berduri, itu kayak gue, yang akan ngelindungin bunga mawar dari sentuhan lain."
Icha mematung di tempat, mencerna berbagai ucapan Arga memang sedikit sulit. Hingga Arga berucap," gue pulang ya Cha, udah malam, buruan masuk," suruh Arga. "Bye, Cha."
Motor sport merah itu melaju meninggalkan rumah Icha beserta Icha yang mematung di tempat.
"ICHA MELELEH SEKARANG!!!"