BLACKSWEET

Zaki septiyono
Chapter #11

10 °Problematika

PAGI yang cerah bagi seorang Icha. Kemarin, Ia sudah sedikit tenang dengan menceritakan masalahnya dengan Letta. Dan disinilah sekarang, duduk dengan Mama, Papa, dan Abangnya.

"Mah, Icha berangkat duluan ya, soalnya ada yang ketinggalan di sekolah Icha," Icha berdiri bertujuan untuk mencium punggung tangan orangtua nya.

"Loh, nak, kan rotinya belum dimakan?" sekelebat ide merasuki pikiran Icha. Sebaiknya Ia memasukkan roti ini ke dalam bekal dan memberikan pada Arga.

"Taruh dalam bekal aja, Ma. Icha buru-buru," jawab Icha sambil mengambil bekal dan diisi dengan roti selai buatannya. Ia mencium punggung tangan mamanya dan mengambil tasnya.

"Oh, jadi gue dicuekin nih ceritanya?" omel Abri tak terima dilalui begitu saja oleh Icha, adiknya. Dengan terpaksa, Icha berjalan mendekati Abri.

"Manja deh, biasanya aja gak pernah," semprot Icha sambil menyalami tangan saudaranya itu. Ia lalu bergegas keluar rumah diikuti oleh Papanya.

Icha sudah duduk didalam mobil. "Pa, buruan nyetirnya yang cepet ya. Penting banget ini mah," suruh Icha khawatir. Kelvin hanya menganggukkan kepalanya dan mobil mulai membelah jalanan yang sepi oleh aktivitas manusia.

==================

Hal yang tak disukai dari seorang Arga Regantara adalah kecanggungan antar sesama. Seperti saat ini, Ia sedang di meja makan bersama Papa, Mama, dan Justin yang sedari tadi memasang muka jutek.

Semenjak kejadian kemarin, Justin lebih suka menyendiri. Sedangkan Papa dan Mamanya lebih suka membelanya. Jujur, Arga merasa kasihan melihat Justin yang dahulu periang, sekarang menjadi seorang yang tempramen. Mudah marah, cepat tersinggung, dan tak mau mengalah.

"Arga, kamu berangkat bareng sama Papa aja ya, Justin sama Mama aja," tutur Arum mengarahkan. Justin yang merasa disebut namanya, hanya membuang muka.

Arga mengangguk lantas menghabiskan sarapan nasi goreng kesukaannya.

"Arga, bagaimana nilai kamu di sekolah? masih terus meningkat kan? Papa sama Mama gak mau kamu meniru seperti kakakmu ini, tak punya tujuan hidup," ucap Wayan secara tegas disetiap kata yang diucapkan. Arum memberi tatapan tajam khasnya jika suaminya sudah membandingkan kedua anaknya, pasti akan menjadi perselisihan.

"Baik kok, Pa. Tenang aja," gurau Arga sedikit memberi senyuman agar tak terlihat canggung. Arga melirik Justin yang menatap tak suka kepada adiknya itu.

"Kalau Justin? harus lebih baik ya, nak," sambar Arum cepat agar anaknya yang satu ini tak mudah tersinggung.

"Mama gak usah sok peduli sama Justin," bentak Justin dengan keras. "Urusin aja tuh anak kesayangan Papa sama Mama."

Wayan yang melihat anaknya berani berucap kasar pada Arum lantas menimpali perkataan anaknya itu, "Itu mulut pernah sekolah atau enggak, Justin? Kau dididik disekolah bukan untuk merokok, berantem, judi, minum minuman keras,dan...."

"Sejak kapan Papa jadi peduli?" sinis Justin. "Semenjak kejadian itu, Papa lebih dominan menyalahkan Justin. Padahal yang salah dia! Justin liat pakai mata kepala Justin sendiri, Pa!"

Arga yang ditunjuk hanya diam tak berkutik. Ia masih menganggap Justin sama seperti dulu, sebagai kakak kebanggaannya.

"JUSTIN! berhenti bicara! Papa sudah capek ngurusin kamu! kalau gak mau diatur, pergi dari sini! sudah baik kami masih mau mengurus mu, Justin!" jawab Wayan secara tegas, rahangnya mengeras, kepalan tangannya yang memegang sendok menjadi terlepas.

Justin hanya diam, malas sekali baginya melayani kemarahan Papanya yang begitu membosankan. Ia malas berdebat sekarang.

"Sudah, Justin. Kau langsung berangkat sama Mama, ayo!" tutur Arum lembut. Justin berdiri dari kursinya dan mengambil dengan paksa tasnya. Ia berangkat meninggalkan ketiga keluarganya.

"Justin berangkat sendiri, Ma," kata Justin sambil mengendarai motor hitam besarnya. Arum menggelengkan kepala saat motor itu melaju dengan cepat di jalan raya.

Lihat selengkapnya