HARI ini adalah hari Rabu, dimana hari ini hari yang benar-benar padat oleh berbagai kegiatan. Seperti sekarang, Arga tengah mempersiapkan berbagai peralatan untuk pelajaran nanti.
Arga keluar kamar dengan seragam lengkap atribut yang sudah menempel rapi di pakaian putih-biru milik Arga. Ditambah tas yang menggantung dibahu kanan Arga, membuat kesan ganteng.
Ia berjalan melewati kamar Kakaknya, Justin. Pintu kamar Justin, terbuka sedikit. Justru membuat Arga penasaran mengapa Justin belum berangkat sekolah. Biasanya, jika sudah berangkat, pintu kamar Kakaknya itu sudah tertutup. Bahkan terkunci.
Arga melangkahkan kakinya secara perlahan-lahan mendekati pintu kamar Justin yang terbuka sedikit. Arga memegang knop pintu dan mulai mendorong pintu secara perlahan.
Matanya terbelalak saat mengetahui Justin tengah tertidur pulas diatas kasurnya dengan kondisi kamar yang berantakan. Selimut di bawah, bantal di samping kasur, dan berbagai botol minuman keras yang tergeletak begitu saja di atas karpet.
Arga berdecak pelan, ia sangat tak tega mengetahui kehidupan Justin yang semakin hitam. Padahal dulu, Justin yang ia kenal sebagai Kakaknya itu, hanya bisa bermain bersamanya dan bergurau bersama. Tapi, entah mengapa kali ini berbeda? Justin berubah 180 derajat.
Langkah Arga membawa Arga sampai di depan lemari besar milik Justin. Sebenarnya, tujuannya memasuki kamar Justin, hanya satu. Membangunkan Kakaknya. Namun, lemari besar yang berada di sebelah kasur milik Justin, membuat kaki Arga melangkah kesana.
Tangan Arga menyentuh berbagai foto keluarganya yang sudah terbentuk tak karuan. Ia rindu memiliki keluarga yang sempurna seperti dulu. Hanya karena kejadian adik bungsunya meninggal, semua berantakan.
Arga membuka berbagai lembaran album foto yang tergeletak di bawah lemari kaca milik Justin. Semua foto itu menampilkan gambar Justin dan dirinya. Ia tak bisa menahan lagi untuk tidak memeluk Justin sekarang. Tapi, keadaan yang berubah, membuat Arga tak bisa memeluk Kakaknya itu.
Pupil mata Arga membesar. Ia benar-benar terkejut dengan foto yang ia pegang sekarang. Bukan foto keluarganya, bukan pula foto dirinya dan Arga. Namun, foto seorang cewek tengah berpose. Ia kenal betul dengan cewek di foto ini.
Rambut tegerai lurus, tatapan tajam khasnya, alis yang tipis, bibir tebal, dan postur tubuh yang langsing, adalah ciri khas Kirey. Yap, Arga kenal dengan cewek ini. Tapi, sekarang yang menjadi pertanyaan, mengapa Justin bisa mengenal Kirey?
Justin menggeliat di atas kasur empuk miliknya. Ia yang menyadari ada seorang memasuki kamarnya tanpa ijin, langsung membuka kedua matanya. Arga yang merasakan Justin sudah bangun, langsung ia mengambil foto Kirey dan menyimpannya dalam saku.
"Lo kenapa disini, hah?" bentak Justin dengan kasar dan keras. Arga membalikkan tubuhnya, menatap Justin penuh rasa persaudaraan.
"Sorry Kak. Tadi gue mau bangunin lo. Tapi lo gak bangun-bangun," bohong Arga, terpaksa.
Justin berdiri dari kasurnya dan mendekati Arga. "Lo kenapa sih? Selalu ngusik hidup gue. Lo itu cuma adik yang bawa malapetaka bagi keluarga kecil gue dulu. Sekarang, karena lo," tunjuk Arga. "Adik kesayangan gue meninggal!"
Arga mematung ditempat. Matanya terasa panas. Tapi ia tak boleh menangis. Papanya bilang, seorang cowok tangguh bisa menahan tangisnya.
"Kalau lo ngerasa terganggu, gue keluar kak. Maaf. Tapi yang harus lo tau, gue masih nganggep lo Abang terhebat gue, " lirih Arga sambil berjalan keluar. Justin hanya bisa menggeram kesal karena bisa seenaknya masuk kamar seseorang. Ia menutup pintu dengan keras dan membanting tubuhnya di atas kasur. Justin bolos hari ini.
Arga berjalan menuruni anak tangga dan mulai berjalan keluar rumah. Papa dan Mamanya sudah terlebih dahulu berangkat kerja. Sehingga Arga harus naik motor sport merahnya.
"Gue akan cari tau, Bang. Siapa yang tega bunuh adik kesayangan gue," gumam Arga sambil menancap pedal gas dan menuju sekolah.
================
"Gue mau tanya dong sama kalian," seru Icha antusias sambil menghadap Letta serta Fina. Mereka tengah berada di kantin yang masih sepi oleh murid. Lima belas menit lagi, bel masuk berbunyi.
Letta menyeruput jus mangganya. "Lo mau tanya apaan,Cha?" tanya Letta santai.
Fina memasukkan bakso yang sudah dipotong-potong itu kedalam mulutnya. Lalu mengunyah perlahan dan menelannya. "Penting banget,Cha?"
"Ini penting dan serius," ujar Icha menatap Letta dan Fina bergantian. Yang ditatap hanya memalingkan mukanya.
"Sok serius lo,Cha!" gurau Letta sambil mengaduk-aduk jus mangga kesukaannya. Icha memukul pelan bahu Letta dan membuat cewek itu meringis pelan.