"PERMISI, maaf ganggu. Bisa bicara sama Kak Arga sebentar?"
pertanyaan itu langsung mendapatkan tatapan dari tiga cowok yang tengah berada di meja pojok kantin. Mereka menatap dengan tatapan penasaran. Ketiga cowok itu pun saling melempar tatapan tanda tak tahu.
"Eh, neng Icha. Gabung sini kuy!" suruh Ian. Lebih tepatnya, memaksa.
"Neng? emang si Eneng yang di kampung rumah lo itu?"
Aksa dan Arga pun tak bisa menahan tawanya. Dalam hitungan detik, tawa mereka pecah. Sedangkan Ian hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal sambil menyantap kembali makanannya.
Arga pun berdiri dari tempatnya dan mulai melangkah meninggalkan mereka berdua. Namun, sebelum itu Aksa mengucapkan sesuatu sambil berbisik.
"Ga, nanti gue ajarin ya cara nembak cewek!"
"Matilah, dodol!"
Arga dan Aksa pun tertawa. Tawa mereka tak lagi bisa dipendam. Icha hanya menunduk sembari menunggu Arga selesai dengan urusannya. Arga menepuk bahu Aksa.
"Gue tinggal dulu, bro!" pamit Arga yang mendapatkan jawaban dengan acungan jempol di udara.
Arga menggandeng tangan Icha. Ia sudah tahu, kalau Icha masih ada masalah yang harus mereka selesaikan. Yap, mungkin masalah papan pengumuman tadi pagi.
=====================
Semilir angin menembus kulit mereka berdua. Kini, mereka saling diam tanpa ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Arga dan Icha tengah berada di rooftoof sekolah. Namun, sampai sekarang masih tak ada yang membuka suara terlebih dahulu.
"Lo mau bicara apa,Cha?" suara Arga menyusutkan keheningan ini daripada menimbulkan kesan canggung. Icha menoleh, menatap dalam manik mata Arga.
Tanpa aba-aba, Icha langsung memeluk Arga dan menangis. Suara isakannya itu bisa didengar oleh Arga. Kepala Icha ditenggelamkan di atas bahu kokoh milik Arga.
"Icha? kenapa lo nangis?" tanya Arga heran, "udah, nanti malah tambah jelek loh." Arga mengangkat kepala Icha dari bahunya dan menatap wajah sembap milik Icha.
"Ayo, cerita. Lo lagi ada masalah?"
Untuk sekian kalinya, Icha menunduk dan masih menangis. Padahal, Ia sudah mencoba agar tangisan ini berhenti mengalir dari pelupuk matanya, tapi tetap saja gagal.
"Kenapa, Kak? Kenapa saat kita begini, masih ada aja orang yang gak suka sama hubungan kita? Padahal kita kan masih pacar pura-pura," tanya Icha sambil terisak-isak.
Arga mengelus puncak kepala Icha dengan lembut. "Pasti gara-gara kertas di papan pengumuman itu ya?" tanya Arga balik. Namun, Icha hanya mengangguk lemas seraya menghentikan tangisnya.
"Kak Arga tau, siapa orang yang tega fitnah kita waktu kita nonton di bioskop kemarin?" Icha menengadahkan kepalanya sambil mengusap air matanya yang mulai surut.
"Udah, Icha diem dulu dong," sela Arga seperti hendak menjelaskan, "sebenernya, gue udah tau pas masuk sekolah tadi pagi. Asli, gue kaget banget saat tau foto kita ada di mading. Dan... gue tau banget siapa pelaku itu."
Icha menyimak baik-baik sambil mencerna perkataan Arga.
"Hanya ada satu orang,Cha. Yang bener-bener gak suka sama hubungan kita dan berani ngungkapin secara terang-terangan. Biasanya, kalau haters kita cuma berani nyinyir di sosmed. Kalau ini gue tau pelakunya." Sorot mata Arga menggambarkan kekesalan.