SUARA mesin EKG menemani keheningan dalam bilik inap milik Fina. Sekarang, dokter tengah memeriksa kondisi Fina selepas kejadian mengerikan tadi.
Icha dan Arga masih setia menunggu di luar kamar inap milik Fina. Mereka sibuk berdoa kepada sang pencipta agar kondisi Fina tidak separah yang tak diinginkan mereka berdua.
Icha memecah keheningan antara dirinya dan Arga. "Kak, menurut Icha, tadi tingkah Kak Arga berlebihan deh."
Arga mengalihkan tatapannya dari handphone lalu beralih ke Icha. Ia mendekatkan duduknya pada Icha.
"Cha,Cha. Orang kayak gitu gak perlu lo kasihani. Dia itu tampangnya aja yang sok kalem dan cantik. Tapi, gue yang udah kenal sama dia dari kelas X aja udah bosen,Cha sama sifatnya."
Icha mengernyitkan keningnya bingung dengan apa yang diucapkan oleh Arga.
"Maksudnya, Kak?" tanya Icha.
"Dasar, Icha. Gitu aja masih belum paham?" Arga mencubit hidung Icha pelan tapi mampu membuat Icha mengerang kesakitan.
"Ih, Kak Arga nyebelin ah. Icha tuh lagi laper. Jadinya telmi deh. Hehehe....," jawab Icha sambil menyengir lebar. Arga yang melihat hanya mengulas senyum.
"Kode nih, peka dong!" gumam Icha pelan tapi masih mampu didengar oleh Arga.
"Iya, iya. Yang lagi ngode. Nanti jam lima sore gue jemput ya," ujar Arga mengerti arah pembicaraan mereka.
"Beneran, Kak? Makasih!" pekik Icha senang. Sedangkan Arga pura-pura memasang wajah cemberut.
Suara pintu yang berdecit pun membuat Icha dan Arga menoleh kompak ke sumber suara. Rupanya, dokter yang memeriksa Fina telah keluar dari ruang inap Fina.
Icha dan Arga berdiri dan mendekati dokter itu. "Gimana dok? Kondisi Fina baik-baik aja kan dok?" tanya Icha khawatir.
Dokter itu membenarkan kacamatanya dan berkata, "Kondisi Fina baik-baik saja. Dia harus menginap hari Sabtu dan Minggu disini terlebih dahulu. Sepertinya Fina juga tidak mengalami luka yang serius. Hanya benturan di kepalanya yang membuat ia pingsan," jelas Dokter itu.
Icha dan Arga mangut-mangut tanda mengerti sekarang. "Kami boleh masuk, Dok?" tanya Arga sopan. Sedangkan Dokter itu membolehkan dan Dokter pun ijin untuk pergi menuju pasien yang lain.
Icha melangkah masuk ke dalam kamar inap Fina dengan perasaan bersalah. Di belakangnya diikuti oleh Arga yang memandang kasihan Fina yang menyapa Icha dan Arga.
"Hai,Cha," sapa Fina yang sedang berusaha tersenyum. Di mulutnya tertempel infus untuk membantu ia bernapas. Di tangannya juga tertempel selang infus.
Icha tersenyum miris. Entah kenapa rasanya ia benar-benar merasa biang kerok semua masalah ini. "Hai juga, Fin!"
Icha dan Arga mendekati kursi di samping ranjang milik Fina. Arga mengulas senyum pada Fina dan dibalas Fina juga dengan senyuman, walau terasa susah untuk tersenyum.
"Fin, maaf ya. Gue udah berasa setan yang ngebuat lo sengsara."
Fina mengerutkan keningnya tanda tak mengerti. Ia mencoba melepas infus pernapasan untuk lebih mudah bercakap. Padahal, Arga dan Icha sudah melarang dan Fina hanya berusaha menyakinkan mereka.
"Icha,Icha. Lo itu sahabat gue. Gak mungkin lah lo yang ngebuat masalah ini. Gue udah mendingan kok. Cuma masih terasa sedikit pusing aja," tutur Fina menjelaskan.
Icha menggeleng. "Bukan, Fin. Gak mungkin Kak Kirey ngelakuin ini kalau bukan karena gue. Dia ingin gue sama Arga putus kan?" tanya Icha terseyum samar. "Jadi kesimpulannya, ini karena gue,Fin."
Icha menunduk tak berdaya merasa serba salah. Arga mengelus pundak Icha pelan dan mencoba menenangkan Icha.
Fina mencoba duduk tegap dan mengulas senyum pada mereka berdua. "Gue baik-baik aja kok. Gue masih bisa lawan Kak Kirey kok," sahut Fina yang masih menenangkan Icha.
Obrolan mereka bertiga terhenti hanya karena suara pintu yang terbuka. Icha, Fina, dan Arga menoleh ke arah pintu yang terbuka. Pertama yang muncul adalah sosok wanita tua yang berusia kepala tiga.
"Fina! Ya gusti, kamu kenapa, Nak? Ada yang parah atau gak, Nak?" tanya wanita itu mendekati ke arah ranjang Fina. Tak salah lagi, wanita itu adalah Bunda Fina.
"Apa sih, Bun? Fina gak pa-pa kok. Bunda gak usah khawatir ya."
Wenda mendekati kursi di sebelah kanan ranjang Fina lalu menjatuhkan pantatnya di kursi. "Fina, gimana sih kejadiannya?"
Fina mengelus punggung tangan Bundanya itu sambil menceritakan ulang apa yang dialaminya tadi selepas pulang sekolah. Wajah Wenda terlihat terkejut. Sama hal nya dengan Icha dan Arga yang mendengar cerita dari Fina.
"Bunda akan tuntut hukuman yang setimpal buat si pelaku ya, Nak. Tenang aja," ujar Wenda memendam amarahnya.
"Ini semua salah saya, Tan."
Semua yang ada di ruangan langsung menoleh ke arah Icha. Tiba-tiba keadaan langsung hening. Suara Fina lah yang pertama kali memecah keheningan.