"TEMBAK terus. Jangan sampe lari. Noh itu noh, si lawan mau mati. Tembak terus, Ian. Dasar gob-"
"Cerewet. Kek anak cewek!"
Aksa memajukan bibirnya tanda kesal karena omongannya terhenti karena mulutnya ditutupi oleh tangan besar milik Ian. Ian hanya mendengkus kasar karena acara bermain PS nya terganggu oleh Aksa.
"Yah, game over, kan. Ini semua gara-gara lo deh, curut!" umpat Ian kesal sekaligus jengkel karena game yang ia mainkan tiba-tiba kalah. Juga bersamaan dengan Aksa.
"Iya, sorry, bawel lo. Lagian lo sih gak nembak tuh musuh. Kan kita yang kena balik," sungut Aksa sambil memajukan bibirnya.
"Lo ngapain,Ga? Dari tadi mondar-mandir mulu," cibir Aksa penasaran.
Arga berhenti tepat di depan Aksa yang masih duduk di atas karpet yang nyaman. "Gue mau berak." Arga menyengir lebar.
Aksa memasang muka jijik, sedangkan Ian tertawa keras diikuti juga oleh Rivan. Arga segera berlari menuju toilet. Malam ini, Aksa, Ian, dan Rivan tengah datang ke rumah Arga. Seperti yang dikatakan Rivan, bahwa mereka bertiga ingin main ke rumah Arga.
Dan disini lah sekarang, Aksa dan Ian yang masih tak terima dengan gamenya yang kalah hanya karena saling menyalahkan.
"Sa, main lagi, kuy! Gue punya game yang lebih seru daripada game kalian!" seru Rivan yang membuat Aksa langsung menoleh semangat. Ian pun ikut bergabung.
Arga melangkah mendekati kamar Kakaknya, Justin. Sebenarnya pergi ke toilet hanya lah alibinya semata. Ia sedari tadi mondar-mandir karena ia khawatir Justin tak membuka pintu kamarnya saat ia mengetuk pintu.
"Bang, bukain pintunya!" Arga mengetuk pintu lebih keras dari sebelumnya karena ia khawatir Abangnya itu kebanyakan minuman beralkohol.
Hening.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Dan masih saja tak ada jawaban dari Justin. Arga jadi tambah khawatir. Walaupun Abangnya itu sering berbuat kasar padanya, itu tak mengurangi rasa sayangnya pada Justin.
"Gue dobrak ya, Bang! Sorry!" Arga mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu Justin.
Dukkk....
Pintu kamar Justin terbuka lebar. Pemandangan pertama yang tersaji adalah botol alkohol yang berserakan di atas karpet. Kemudian tatapan Arga beralih pada sosok Justin yang terkapar lemas di atas kasur.
Arga mendekati kasur Justin untuk membangunkan Abangnya itu. Namun, usahanya gagal. Karena sepertinya Justin terlalu banyak meminum minuman beralkohol.
Gagal membangunkan Justin, Arga mencoba mendekati meja televisi milik Justin. Matanya membesar kala melihat sebuah kalung berbentuk love.
Arga memegang kalung itu, meraba-raba karena merasa aneh dengan benda ini. Tak sengaja, kalung love itu terbuka dan menampilkan sebuah foto kecil yang ada di bagian kanan dan kiri benda love itu.
Yang membuat Arga terkejut sekarang adalah, sosok foto Kirey dan Arga ada di dalam kalung berbentuk love itu. Seminggu lalu, ia menemukan foto Kirey di lemari Justin. Bahkan, sekarang ia menemukan hal pelik.
"Bang Justin kenal sama Kirey?" gumam Arga pelan. Ia menyimpan kalung itu ke dalam saku celana miliknya, kemudian melangkah keluar dari kamar Justin.
"Mau kemana lo?"
Tubuh Arga membeku ditempat. Suara itu sangat dikenal oleh Arga. Bagaimana bisa Justin bangun disaat ia terlalu banyak minum minuman beralkohol. Ia menoleh ke belakang, ternyata Justin hanya mengingau. Posisinya masih terkapar lemas.
Arga menghela napas pelan. Untung saja ia tak kena marah Justin. Dulu, saat ia menemukan foto Kirey, ia kena marah habis-habisan. Arga langsung keluar dan menutup pintu kamar Justin.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Arga menghadapi teka-teki kematian adiknya sendirian? Ia harus membutuhkan seorang yang bisa dipercayanya.
Yap, hanya Icha seorang.
======================
Berbagai barang bawaan yang ingin dibawa Icha, kini berserakan di atas kasur miliknya. Seperti baju ganti, berbagai alat cosmetic, pakaian dalam, dan barang lainnya yang sangat berantakan di atas kasur Icha.
Ya, walaupun Icha tak begitu menyukai cosmetic, namun ia hanya berjaga-jaga jika bibirnya pecah-pecah dan pipinya terlihat kusam. Ia tak mau terlihat memalukan diacara sepenting ini.
Karena merasa sedikit lelah, Icha membanting tubuhnya di atas kasur. Ia menghela napas pelan, tanda menghilangkan rasa bosannya, karena sedari tadi persiapaannya tak kunjung selesai.
Besok sudah mulai berangkat menuju lembah di gunung merbabu. Sekarang, ia takut apakah Arga akan ikut dalam acara ini atau tidak. Ia meraih ponselnya, dan mengecek notifikasi ponselnya, hanya ada satu pesan.
Napas Icha tercekik, seketika seluruh jantungnya berhenti berdetak. Hanya sebuah pesan, tapi mampu membuat wajah Icha berubah menjadi pucat. Ia tahu siapa yang mengirim pesan ini, walaupun Icha tak menyimpan nomornya.