Blades of Belthor

Adam Zidane Arafi
Chapter #15

15. Deklarasi

Surya mulai menyingsing dikala semerbak kenangan dan dinginnya udara menusuk sekujur tubuhku. Setelah perjalanan 3 hari tanpa henti, aku akhirnya sampai pada tempat kelahiranku, Belthor. Anehnya, selama 5 tahun sepeninggal ku, tidak ada perubahan sama sekali. Bekas pertarungan waktu itu, masih sama, kecuali beberapa yang mulai termakan zaman.

Butuh waktu lama bagiku menekan trauma kehilangan ayah begitu menapakkan kakiku didesa ini. Beberapa detik termakan hanya agar nafasku kembali pada irama awalnya. Aku berjalan perlahan mencari siapapun, atau apapun itu, karena desa ini tampak mati, tanpa kehidupan. Kucoba alirkan Ard ku mencoba mendeteksi keberadaan Ard siapapun. Hingga beberapa puluh langkah tidak ada Ard yang terpancar.

Aku berjalan menuju puing-puing balai desa yang sudah kehilangan atap dan lantai 2 nya. Hanya bau kayu yang mulai lapuk dengan debu yang membuat idungku gatal. Sejauh ini belum ada tanda-tanda kehidupan atau apapun itu yang mungkin menuntunku pada kawan-kawanku.

Mungkinkah..

Tidak..tidak...TIDAK!!!

Sial tidak mungkin kemungkinan terburuk itu ada, apa yang harus kulakukan. Bagaimana.. bagaimana jika mereka semua dibunuh.. apakah mungkin? Kemana aku harus pergi jika hal itu terjadi? Tidak..tidak..

Kekacauan dan keputusasaan mulai merenggut kepalaku. Apa yang terjadi! Kemana mereka! Aku yang mulai dikuasai emosi memukul-mukul bangunan dengan ledakkan Ard hingga hancur berkeping-keping. “Berfikir jernih, aku harus berfikir jernih!” ucapku pada diriku sendiri

Aku ingat terakhir kali mereka mengungsi pada tempat dipenghujung desa, namun, beberapa langkah sebelum sampai pada tempat pengungsian, Ard ku masih tidak merasakan siapapun. Saat sampai pun demikian, tiada seorangpun yang kutemukan.

Hanya tenda-tenda darurat yang terbengkalai, bahkan sudah menyatu dengan tanah dan beberapa tersangkut di pepohonan.

“Bagaimana ini!? Apa yang harus kulakukan!?” Jantungku berdetak tak beraturan, tubuhku mulai berkeringat dingin. Ard ku meluap dengan sendirinya membuat pusaran angin disekitarku hingga.. aku teringat akan sesuatu.

“Besi Silinder pemberian Lydia!” Ucap benakku. Untungnya aku masih menyimpannya. Hanya dengan melihat benda itu, sudah sangat memberikan harapan bagiku, aku memeluknya erat dengan sangat lama sebelum membuat ledakkan pada silinder itu sesuai instruksinya.

Benar saja didalamnya kurasakan Ard milik Lydia yang perlahan menghilang. Aku merindukan semua penduduk desa Belthor. Aku berjalan menuju pusat kota sembari menunggu apakah Lydia atau siapapun akan datang. Namun nyatanya, hingga matahari terbenam tidak ada yang muncul. Perutku sangat lapar sengaja tidak ku-isi dengan makanan apapun, karena aku merindukan makanan khas desa belthor.

Aku sangat merindukan mereka. Aku terduduk sambil merenungi semua ini, membayangkan jika memang yang terburuk sudah terjadi. Apakah aku akan menyerang kota Canaria seorang diri? Apa yang harus kulakukan jika aku tidak bisa menahan diri dan malah melukai penduduk kota itu? Aku tidak ingin rakyat sepertiku yang tidak mengetahui apapun terlibat. Urusanku hanya dengan Troy, Quevera, dan semua orang diatas sana yang tertawa terbahak-bahak selagi menyusahkan kami, rakyat jelata.

Setelah itu apa? Setelah mengalahkan Lord Troy, apa yang harus kulakukan? Tidak ada tujuan, tidak ada rencana. Bisa jadi aku akan menjadi pengembara seperti Master Blanc.

Renungan malam ini tidak akan ada habisnya. Aku mensudahi dan merebahkan tubuhku. Sekuat apapun aku sekarang, istirahat masih merupakan hak yang harus kupenuhi untuk tubuhku ini. Aku merebahkan tubuh ku disamping puing bekas balai desa menggunakan kain lusuh yang kutemukan pada bekas pengungsian tadi. 

Perlahan kukosongkan pikiran dan mulai memejamkan mata. Berapa lama aku harus menunggu? Siapa yang tau, mungkin esok, atau 10 tahun lagi aku harus menunggu. Kesadaranku mulai menghilang. Beberapa jam yang sangat menyenyakkan karena bisa tidur diatas tanah kelahiranku, walau hanya beralaskan tanah dan beratap langit, kedamaian yang kucari selama ini sangatlah indah.

Sayangnya, semua ini akan menjadi lebih baik lagi andai saja ketenangan itu bertahan sedikit lebih lama hingga pagi. Kalau saja bukan karena Ard yang kurasa mendekat tentunya, aku akan terpejam hingga pagi. Namun demikian, aku sangat tidak sabar menemui siapapun itu yang kuharap adalah Lydia atau siapapun dari desa Belthor.

Tetapi lagi-lagi, harapanku pupus ketika aku baru bangun dan masih dalam posisi duduk, sebilah pisau meluncur lurus kearah mukaku, yang kuhancurkan dengan Ledakkan aura Ard ku. Aku bangkit dan mencari keberadaan siapapun yang menyerangku itu. Belum sempat aku menengok kearah penyerangku, ia melesat dengan sangat cepat kearahku.

Sosok misterius dibalik jubah itu menyerang ku secara sistematis menggunakan kedua pisau nya, Aku harus mengelak dengan cepat seraya pisau yang dapat dengan mudah memperlambat pergerakanku meluncur kearahku tanpa henti. Saking cepatnya, tidak ada waktu bagiku untuk menyerang balik.

Aku meluapkan ledakan aura untuk membuatnya menjaga jarak, kemudian memberikan pukulan balik pada penyerangku itu. Dikala pisau pada tangan kanannya meluncur mengarah pada leherku, aku meninju keras dipenuhi kekuatan Ard ku yang terpusat dan langsung mematahkan lengan penyerang itu. Ia mengambil langkah sambil melemparkan pisau dari jarak dekat, yang membuatku tak sempat mengeluarkan aura Ardku, hingga pisau itu tertanam pada pundak kiriku.

Aku menahan diri untuk tidak menggunakan night-slayer, karena aku belum tau pasti siapa dan apa tujuan penyerangku ini. Aku tidak boleh membunuhnya, dan siapa tau ia memiliki informasi keberadaan penduduk desa Belthor. 

Penyerang itu menyerang lagi, namun pergerakannya melambat, hingga memberikan banyak celah bagiku untuk menyerangnya dengan tinjuan telak dimuka nya disusul juga dengan tendangan telak didadanya dengan Ard yang kuhempaskan hingga membuatnya terkapar.

Aku mencabut belati yang tertanam dipundakku, dan sedikit menahan pendarahan dengan Ard hitamku. Aku mendekat dan sebelum berhasil menguak identitas penyerangku, seseorang meninjuku dengan sangat keras dari sisi kanan, yang membuatku hampir kehilangan pijakkan. Pukulannya kuat, namun kecepatannya tidak lebih cepat dibanding penyerang yang satunya. saat kepalannya mengarah padaku, aku menggenggamnya sebelum mendarat pada wajahku, lalu mengunci pergerakan tangannya kebelakang tubuhnya, dan sebelum sempat tangan kirinya beraksi, aku menguncinya dari ketiak pada tangan kirinya. Kudorong badannya ketanah, sebelum mengikatnya dengan sepotong kain. Kutahu kain itu takkan menahan lama, namun, cukup bagiku untuk membalik tubuhnya dan membuka...

“Lydia?” Tanyaku.

“Hah? Apakah kau Adam?” Tanyanya balik.

“Tentu saja! Kau kira aku siapa!” Ucapku sebelum aku memeluknya erat.

“Tidak mungkin! Benarkah itu kau Adam?” Ucapnya ragu.

“Ini Aku Adam, memang siapa lagi aku?” Tanyaku kemudian melepasnya.

“Kau memang terlihat seperti adam, suaramu juga, walau terlalu banyak yang berubah dari penampilanmu.” Sahut seseorang yang menjadi penyerangku yang lainnya, dan kuduga dari suaranya, itu adalah Alvy.

“Alvy?” tanyaku meyakinkan. Ia bersuara pelan “Itu Aku.”

Lihat selengkapnya