Blades of Belthor

Adam Zidane Arafi
Chapter #1

1. Percikan Api

Pagi yang cerah seperti hari-hari pada umumnya didesa Belthor, desa yang tidak terlalu mencolok dengan komoditas utama masyarakatnya sebagai petani dan peternak. Aku duduk sejenak dikasur sambil memerhatikan ruangan kecil yang tiada lain adalah kamarku. Hanya sedikit hal menarik didalam ruangan 2 X 3 meter ini, mungkin pedang pendek pemberian paman Ken, blacksmith terkenal didesa, yang menggantung disamping pintu. Aku juga jarang sekali menggunakan itu kecuali dalam beberapa kegiatan saja. Beberapa lukisan juga terpampang di dinding-dinding kamar. Meja beserta kursi dan lemari adalah satu-satunya furnitur yang ada menemani kasur ku.

"Adam! Bisa kah kau turun sebentar dan membantu ayah disini?" Teriak ayah.

"Baik yah, tunggu sebentar" Sahutku.

Baiklah, cukup sudah mengumpulkan kesadaranku, saatnya bergegas membantu ayah dibawah. Entah karena hal apa, tiba-tiba firasatku berkata sebaiknya aku membawa pedang hari ini. Aku ambil pedang beserta sarung yang menggantung di paku dinding dan mengikatnya di pinggangku. Bergegas akupun melewati lorong rumah yang melalui satu kamar kososng disebelah kananku dan kamar ayah didepanku, kemudian menuruni tangga dibalik dinding lorong tadi. Dibawah terdapat ruang keluarga dengan perapian dan meja makan disampingnya, sedang dapur berada diruangan belakang. Rumah kayu dengan perapian di desa ini merupakan rumah yang unik, karena kebanyakan rumah didesa tidak memiliki perapian.

"Ada apa yah?" tanyaku ketika menemui ayah di pekarangan rumahku yang sedang mengangkat pagar kayu.

"Bisa tolong bantu aku mengangkat pagar ini?" Tukas ayah

"Oh Iya tentu" Jawab ku

Sambil mengangkat pagar kayu, aku mengikuti ayah dari belakang. Ayahku seorang peternak sekaligus kepala desa yang cukup dikenal di desa ini. Fisiknya sangat energik dan bertubuh besar penuh dengan otot, hasil olahraganya tiap sore dengan sebongkah batu dibelakang rumah. Tinggi badannya sekitar 6.5 kaki membuatnya terlihat sangat gagah dimata mereka yang mengenalnya, dan cukup menyeramkan bagi orang asing. Dengan janggut dan kumis tipis kecoklatan mewarnai sekitaran dagu nya, serta rambut coklat yang menjuntai lurus dan agak kusut hingga pundaknya menjadikan tampangnya bak berserker yang sedang menikmati hari tua nya.

"Untuk apa kau membeli pagar-pagar ini" Tanyaku sambal menangkat pagar kayu.

"Entahlah.. tapi aku rasa aku akan membeli sapi lagi" Jawabnya.

"Untuk apa? Sapi lagi? Apakah puluhan sapi tidak cukup?" Jawabku terkejut, karena peternakan yang kami miliki bisa dibilang cukup besar. Terakhir kali aku hitung, ada sekitar 21 sapi yang kami rawat, belum lagi belasan kambing dan ratusan ayam didalam kandang nya. "Yaa.. tidak apa-apa, mungkin lebih banyak sapi akan menambahkan profit keuntungan untuk keuangan desa." Mungkin beberapa dari kalian terkejut mendengar besarnya peternakan kami, namun, walau memang sepenuhnya peternakan ini milik kami, tapi hampir sebagian besar hasilnya ayah sumbangkan kepada dana desa. Jadi, bisa dibilang jumlah sebesar itu masih belum bisa memaksimalkan pembangunan desa, tapi cukup untuk kesejahteraan masyarakat.

Tiba-tiba selagi berjalan menyusuri peternakan di kanan kiri jalan, terdengar suara teriakan dari belakang, yang ternyata adalah paman Mike.

"Aiden!" Teriak Paman Mike dari kejauhan memanggil nama ayahku.

Paman Mike yang bertubuh kurus dengan tinggi tak jauh beda dariku, dan rambut rapih (yang mana sangat berbeda dengan ayah), berlari terengah-engah. Ayah dan aku mengenakan baju berlengan pendek serta celana yang keduanya terbuat dari kulit sehingga berwarna coklat muda, sangat berbeda dengan Paman Mike yang mengenakan set pakaian berlengan panjang dan celana berwarna hijau dengan armor kulit untuk perang berwarna coklat tua (jujur, aku tak pernah mengerti terkadang apa yang dipikirkannya). Ia terlihat sangat terburu-buru apalagi dengan tebalnya lembaran kertas yang ia dekap di dadanya sambil berlari.

"Akhirnya.. Aiden..huftt." Ucap nya sambil terengah-engah."

"Haha ada apa Mike, kenapa sampai terburu-buru seperti itu?"

"Ada hal yang harus kita bicarakan sekarang, dewan desa sudah berkumpul di balai dipimpin oleh Elisa."

"Hai Adam, maaf aku baru menyadarimu, hari yang cerah bukan?" Tanya paman Mike ketika melihatku.

Aku mengiyakan, kemudian Ayah berkata padaku untuk memasang pagar-pagar itu sendiri, dan mereka meninggalkanku. Aku tak pernah tertarik dengan hal-hal apapun itu yang ayah lakukan terkait mengurus desa, walau orang-orang desa sering berkata aku cocok menjadi kepala desa karena kemampuan mengatur strategi, walau hanya strategi bermain perang antar anak-anak didesa yang menjadi festival adat tahunan kami, dan sungguh, aku tidak pernah tertarik untuk mengurus desa dan hal-hal membosankan lainnya seperti itu. Sungguh, dibandingkan menekuni hal merepotkan seperti mengurus desa, aku lebih memilih beternak dan membangun ikatan dengan hewan-hewan ternak ini.

Setelah selesai memasang pagar, aku mengecek kondisi semua hewan ternak disini, dan untuk pekerjaan yang satu ini, aku ditemani Jack, kuda hitam dewasa kesayanganku yang kuurus sejak ia kecil. Jack termasuk salah satu kuda tercepat didesa, dan sudah mengalahkan jerry, kuda milik ayah, walaupun aku tak yakin antara Jack yang memang cepat atau Jerry yang menua dan mulai melambat. Sambil menyapa beberapa penduduk desa yang bekerja di peternakan kami, aku berkeliling dengan santai.

Aku menghabiskan waktu seharian dipeternakan, beristirahat siang dengan para pekerja, kemudian ketika sudah sore, aku pun memulangkan para pekerja, kemudian kembali berjalan kerumah. Begitulah kurang lebih kegiatanku sehari-hari, mengawasi peternakan menggantikan ayah yang sudah cukup sibuk dibalai desa. Memang keseharianku tidak menarik, selain monoton dan sudah kulakukan bertahun-tahun, tapi aku suka dengan hal yang ringan dan tidak merepotkan, sesederhana itu memang pemikiranku, aku juga bingung.

Satu lagi rutinitas yang belum aku sebutkan, setelah selesai melakukan keseharianku, aku pasti akan pergi ke gubuk besar dekat gerbang desa untuk bertemu teman-teman remaja seumuranku. Ya walaupun aku orang yang malas melakukan hal tidak penting dan cepat bosan, tapi aku masih remaja normal pada umumnya yang masih memerlukan teman untuk berbicara dan sesekali bersenang-senang dengan mereka. Perjalanan dari peternakan menuju gerbang dalam desa cukup memakan waktu sekitar 20 menit berjalan, tapi dengan Jack, cukup mengurangi waktu tempuh. Rumahku yang tepat berada disisi luar gerbang dalam desa kulewati dan aku pun memasuki gerbang desa. Yup, sebagaimana biasa, si kembar Nat dan Pat sudah disana dan tengah bertengkar biasanya.

Kusapa mereka, dan ternyata merek benar-benar terkejut dan hampir membentakku juga.

"Oh hai Adam! Maaf sebelumnya, karena.. kau tahu perempuan sok dewasa ini menceramahiku lagi, seakan dia yang paling benar! Huftt.." Ucap Pat.

Lihat selengkapnya