Kami menerobos kerumunan masyarakat yang mulai memadati punggung jalanan utama kota. Sorak sorai saling bersahutan dengan bunga-bunga yang dilempari ke jalanan. Lydia memandu kami menembus kerumunan, sedang aku dibelakangnya dan Alvy mengekori kami. Kami terus berjalan hingga bagian terdepan yang dijaga barisan prajurit dan ksatria perang demi membuat suasana kondusif. Tentu saja, Penjilat hanya patuh pada pemberi makannya, apalagi kali ini adalah pimpinan para pemberi makan mereka.
Kami berhasil sampai pada barisan terdepan, kulihat dari kejauhan barisan ksatria perang dengan perlengkapan yang jauh lebih bagus dibanding ksatria perang dikota ini. Zirah perak mereka sangat bersinar alih-alih hanya menggunakan besi biasa sebagaimana ksatria perang disini, tapi ada satu hal lagi yang aku pikirkan. Seharusnya ksatria perang mengenakan semacam tanda berupa kain merah dengan jahitan satu garis emas yang dikeringkan ditengah kain itu pada lengan kanannya, tetapi, mereka menggunakan lempengan emas murni.
"Lydia, apakah mereka semacam pasukan khusus?" Tanyaku.
"Apa maksudmu?" sahut nya sambil sedikit menengok kearahku.
"Pasukan itu, mengapa mereka memiliki tanda lempengan emas alih-alih kain merah bergaris em.." "Mereka adalah ksatria kerajaan" tegas Lydia sebelum aku sempat mengakhiri pertanyaanku.
"Mereka memliki posisi diatas ksatria perang, dan kekuatan tempur mereka setara dengan 50 prajurit biasa"
"mudahnya, mereka satu tingkat diatas ksatria perang dan satu tingkat dibawah golden fingers, bukan begitu?" ringkasku.
"Kurang lebih begitu." Jawab Lydia.
Aku berpikir, bahkan menjatuhkan satu ksatria perang pun terasa cukup sulit bagiku, apalagi ksatria kerajaan, lebih lagi golden fingers. Banyak sekali yang harus kupelajari.
Tiap dari prajurit itu memancarkan aura petarung yang sangat kuat, hingga rombongan utama sampai didepan kami, dan membuat ksatria kerajaan tidak begitu memukau.
Beberapa pasukan yang terlihat mencolok dengan berbagai pakaian unik, bahkan cukup banyak yang tidak menggunakan zirah besi. Diantara mereka, ada seorang perempuan, sangat cantik, namun ia menggunakan pakaian yang tidak bisa kita definisikan sebagai zirah, itu hanya nampak seperti gaun mahal alih-alih peralatan perang. "Mungkin dia permaisuri" pikirku yang ternyata terucap tanpa kusadari.
"Bukan." Sahut Lydia "Namanya Lady Carla Au Lux, The Sole Rose, seorang Golden finger yang julukannya berarti mawar tunggal di medan perang."
"selain karena kecantikannya yang melebihi nalar manusia, ia juga dikenal karena teknik sihir kelas signature miliknya yang mampu memanipulasi kekuatan malaikat." Lanjut Alvy. "Ternyata kau tau banyak juga." Candaku yang hanya dibalas lirikan Alvy.
Terhitung ada 20 golden fingers yang datang, mereka sangat bervariatif dari segi penampilan, ada yang memiliki membawa 2 pedang pada kedua sisi pinggangnya yang menjadikannya 4 pedang, ada yang mengenakan baju mewah dan dengan penuh rasa bangga melambaikan tangan kepada para masyarakat yang bersorak gembira, dan beberapa golden fingers lainnya dengan ciri khas mereka masing-masing. Lalu barulah, setelah 20 golden fingers, terdapat 2 orang berkuda yang menjadi sorotan mata semua orang.
"Biar kutebak, mereka adalah the hands atau jenderal kerajaan bukan?" tebak ku.
"tentu." Ucap Lydia yang juga terpana dengan kehadiran 2 jenderal tersebut. "Sir Quevera Partider, The Darkest Light. Gelarnya diartikan sebagai cahaya tergelap, karena ia menguasai sihir cahaya sekaligus kegelapan." Gelarnya itu sangat meyakinkan jika melihat dari zirah dan perawakannya. Nuansa hitam mewarnai zirah besi nya, sedangkan warna putih dengan guritan ornamen emas pada jubah luar dan tudung yang menyamarkan wajahnya.
"Bagaimana dengan yang satunya lagi? Dia terlihat biasa saja" ucapku merujuk pada seorang jenderal yang terlihat sederhana hanya dengan zirah kulit yang mungkin setara dengan apa yang dipakai orang-orang di desaku, tubuh kurus nan tinggi, ditambah kain lusuh yang mengelilingi tubuhnya, menguatkan kesan sederhana yang membedakannya dari orang-orang sekelasnya. Dia terlihat seperti penjaga kuil tua.
"Jangan terkoceh dengan penampilannya!" Tegur Alvy. " Namanya Sir Tak Redfall, The God's tear"
"Gelar tersebut disematkan ketika Sir Tak mendatangkan hujan pada satu benua dikala kemarau hampir memusnahkan satu benua selatan." Lanjut Lydia. "Sial, kekuatan macam apa itu?" Umpatku membayangkan betapa gilanya kekuatan orang itu.
Sesaat, entah mengapa tiba-tiba Sir Tak terlihat mencari-cari sesuatu dibalik mata tajam pada wajah yang mulai berkeriput itu kearah kerumunan disekitarku, dan, ia bertemu pandang denganku.
Aku merasa panik, dan sangat ingin meninggalkan tempatku berpijak, namun, entah kenapa napas ku menjadi sangat sesak, hingga menggerakan bibir untuk memberitau Alvy dan Lydia saja tidak bisa. Kupusatkan kekuatanku, dan ternyata aku hanya bisa berkedip sekali sebelum kembali membuka mata dan mengetahui diriku berada ditengah hutan dengan orang itu dihadapanku, Ya, Sir Tak Redfall. Saking dekatnya, terlihat jelas wajah paruh baya yang sebagian wajahnya ditumbuhi bulu wajah menekankan kesan umurnya ditambah kerutan-kerutan. Kurasa ia memiliki umur yang tak jauh beda dengan Paman Tref.
Ia sudah melepas kuncian pergerakanku, dan dengan sigap aku menghunus night-slayer yang untung saja kubawa. Aku yang belum terbiasa dengan katana itu, menyerang begitu saja, dan ternyata melebihi ekspektasiku. Aku memotong tangan kirinya hingga putus. Ya, putus. Tak kusangka, aku memutus tangan seorang jenderal kerajaan, aku tak yakin apakah katana ini yang begitu kuat atau keberuntunganku yang menguat.
"Tenang anak muda." Ucap nya "Kau sudah puas memutus tanganku bukan?" lanjutnya tanpa bergerak sedikitpun untuk menghindar. Jujur saja, sangat memuaskan bisa melakukan itu kepada seseorang yang sangat kuat di kerajaan earthland. Oiya, dan tentu saja aku melakukan itu karena aku tidak pernah memercayai lagi siapapun dipihak kerajaan sejak mereka menangkap ayahku.
Tidak, aku berbohong, ini sedikit berlebihan, ia tidak melakukan apapun. Aku tidak menyangka akan memotong tangannya, aku berharap setidaknya ada perlawanan dari seorang jenderal, dan kurasa setelah ini ia akan membunuhku.
"Aku tidak berniat jahat, dan aku tidak akan menyerangmu." Ucapnya dengan tenang walau tangannya mengeluarkan darah. Ia merapal sihir penyembuhan yang menghentikan pendarahan namun tidak menghiraukan bagian tangannya yang terpotong dan tergeletak di tanah. Aku menurunkan kewaspadaanku, dan menurunkan katanaku.
"Sebenarnya, maksudku bertemu denganmu." Sir Tak mengangkat pandangan dari tangannya kepadaku. "Aku mencari pemilik pedang itu. Aku tau bukan kau pemilik aslinya, tapi itu tak penting."
"Memang apa yang ingin kau lakukan dengan pedang ini..eh..Sir Tak Redfall?" Ucapku ragu karena tak biasa.